DCKD 21

6K 332 8
                                    

Rasanya Fifah benar-benar enggan jika hari minggunya terusik. Oleh Nisa sekalipun!

Meski Nisa sudah membaca aura-aura panas yang sepertinya hampir meledak pada diri Fifah, justru ia masih mengembangkan senyumnya. "Mau ... silaturahmi. Hehehe."

"Silaturahmi? Emang ada acara halal bihalal?" sambar Fifah demikian.

Nisa menghela napas, mendekati Fifah, memegang bahu sahabatnya dengan kedua tangannya yang terlapis handshock hingga pergelangan tangan. Nisa mengabaikan wajah Fifah yang terkejut ketika diperlakukan sebegitu akrabnya.

"Fifah sayang, silaturahmi itu nggak harus pas lagi acara halal bihalal doang," ujar Nisa, "bahkan ... Agama kita memang menganjurkan umatnya bersilaturahmi untuk melapangkan pintu rezeki."

Nisa mengumbar senyum seraya memutar tubuh Fifah seratus delapan puluh derajat lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah. Perlahan-lahan sambil melangkah, ia juga menjelaskan kepada Fifah dengan hati yang lembut.

"Dan kamu tau? Kalau kita mau masuk syurga, salah satunya adalah dengan bersilaturahmi. Karena dengan bersilaturahmi, akan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim."

Fifah bungkam. Ia terus mendengarkan penjelasan Nisa, bahkan Fifah tidak ngomel-ngomel lagi ketika Nisa menggiringnya masuk ke kamar dan menyuruhnya untuk mengganti pakaian syar'i. Nisa akan mengajak Fifah ke suatu tempat dan Nisa yakin Fifah pasti suka.

"Masyaa Allah ... Kamu cantik sekali!" Nisa terbelalak seolah tak kuasa menahan kekagumannya begitu melihat Fifah keluar dari kamar dengan gamis biru muda pemberian calon mertuanya. Gadis itu menghambur ke arah sahabatnya. Ia putar tubuh sahabatnya seperti memutar orang yang menggunakan tutup mata dalam permainan pukul air.

Fifah yang diputar, selain bingung juga merasa dunia tengah berputar. Sementara Nisa begitu girang menyaksikan gamis Fifah yang mengembang begitu lebar ketika diputar.

Oke, No coment buat Fifah! Kali ini ia diam saja meski dongkol setengah mati, ia ikuti permainan Nisa.

***

Minggu, di pelataran Auditorium Unsoed yang cukup luas, tidak sedikit orang yang berlalu lalang demi menyaksikan idola mereka. Namun, kini di hadapan Fifah sendiri Irfan meneguk ludah. Pandangannya menunduk di hadapan Fifah. Begitu pula Fifah. Ia tundukkan pandangan meski sesekali mencuri pandang, justru hal itu membuatnya salah tingkah. Ya, kini, jarak antara Fifah dan Irfan berdiri hanya dua meter.

"Saya mau pamit," tukas Irfan.

Jantung Fifah bergetar, sekuat tenaga ia redam debarannya dan harap-harap semoga lawan bicaranya tidak mendengar. Bahkan mulutnya ketika akan berucap pun ikut bergetar. Ini benar-benar di luar dugaan! Sama sekali tidak direncanakan! Hari ini ia berdamai dengan Irfan. Di suatu tempat yang tidak terkira. Mungkinkah ini skenario-Mu, Allah?

"S-saya ... mau ke kota," kata Irfan lagi. Napasnya masih naik turun dengan tenggorokan tercekat.

Fifah masih belum membalas perkataan Irfan. Ia bingung mau berkata apa. Jantungnya benar-benar kelewat getar!

Dua bola mata Fifah liar menelaah tanah sesekali berkedip-kedip resah. Ia mencari-cari jejak yang ingin dilihat dan hanya sepasang kaki Irfan dengan sandal gunung sederhana dengan kaki-kaki lain yang berlalu lalang begitu tergesa di sekitar mereka.

"Mmm ..." Fifah mengatupkan bibirnya. Sungguh benar-benar bingung apa yang harus dikatakan. Toh bukankah mau pergi atau tidaknya terserah Irfan? Apa karena Fifah calon istrinya jadi ia pamit kepadanya?

"Saya sudah berjanji sama Ayah kamu. Saya akan kembali menjemput kamu," ucapnya lagi. Saat dua bola mata Fifah beralih ke atas, ia lihat Irfan menundukkan pandangan dengan jari-jemari yang saling bertautan. Fifah tau apa artinya itu! Gugup.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang