DCKD 23

6.2K 287 3
                                    

Personel grup hadroh Roufurrahiim menaiki mobil Pak kyai yang dikemudikan oleh Irfan.

Personel yang berjumlah sembilan orang itu, berdesak-desakan duduk di dalam mobil. Jok kiri depan yang seharusnya diduduki satu orang, kali ini dijejalkan untuk muat dua orang.
Sementara jok belakang yang seharusnya berkapasitas tiga orang kini dijejalkan untuk muat enam orang yang mana tiga orang harus rela memangku dan tiga orang lainnya harus bersedia dipangku. Hanya Irfan yang duduk sendiri di belakang kemudi. Meski leluasa, sebenarnya ia tidak tega dengan kawan-kawannya.

Situasi di mobil kini mengingatkan Irfan dengan keluarganya. Dulu, ketika ia belum mondok dan tentu saja belum terjadi pertentangan dengan Ayah, setiap weekend keluarga mereka selalu melewatinya dengan jalan-jalan. Entah itu ke puncak, pantai, atau tempat-tempat wisata lainnya yang terbilang sedang ramai. Pernah beberapa kali ke rumah kakek (Ayah dari pihak Ibu) di Bogor. Dan kata kakek, keluarga mereka adalah keluarga yang paling perfect di antara anak-anak kakek lainnya. Irfan paham betul kenapa kakeknya berkata begitu. Sebab sering kali ketika paman atau budhenya berkunjung ke rumah kakek, kadang tidak dengan suami/istrinya masing-masing. Melainkan hanya dengan anak-anak mereka. Kalau ditanya? Pasti sibuklah alasannya. Setelah satu dua hari menginap di sana biasanya mereka kembali ke rumah masing-masing dengan mengendarai mobil.

Saat itu masih ada Adri. Irfan ingat betul kisah-kisahnya. Dan kini ia baru sadar, bahwa moment-moment seperti itu adalah moment-moment paling bahagia yang pernah ia lalui. Terkadang Irfan menyesal.
Kenapa dulu lebih mementingkan kawan-kawannya ketimbang keluarga. Pergi pagi ketika berangkat sekolah, kemudian pulang malam-malam ketika Ayah dan Ibunya sudah terlelap. Irfan juga pulang siang, yaitu ketika jam-jam pulang sekolah. Tapi itu hanya dilakukannya satu dua kali.

Kalau dipikir-pikir, ternyata itu sangat menyenangkan. Sebab tidak semua orang seberuntung Irfan. Aah! ia jadi ingat saat mengkhitbah Fifah. Gadis yang pada mulanya Irfan cap menyebalkan itu ternyata anak broken home.

Waktu itu dengan sangat hati-hati Ayah Fifah berkata bahwa, jangan sekali-sekali Irfan bertanya soal Ibu kepada Fifah. Karena selain membuatnya menangis, itu akan membuatnya terpuruk terus-menerus. Intinya jangan coba ungkit. Begitu, yang Irfan ingat.

"Berarti ... Fifah nda pernah merasakan bahagianya liburan bersama Ayah dan Ibu? Malangnya nasib gadis itu," pikir Irfan.

Dan kenapa ia tidak menyadari bahwa ada saja kehidupan yang seperti itu? Menyedihkan sekali!
Ketika weekend Irfan dan keluarganya tertawa bahagia, tiap malam makan bersama keluarga, bisa saja pada saat itu Fifah murung sebab teringat Ibunya yang entah di mana.

Hhhh ... Irfan menghela napas, mengusap wajahnya. Lagi-lagi bayangan masa bahagia itu terngingang. Saat weekend kadang Ayah dan Adri bergantian mengemudikan mobil, sesekali juga Irfan yang nyetir. Maka dari itu Irfan begitu mahir mengemudikan mobil. Bahkan dulu, ia sempat gabung dalam klub mobil balap Jakarta.

Lampu merah di persimpangan jalan membuat Irfan menghentikan laju mobilnya.

Kini, mendengar reaksi teman-temannya di jok belakang membuat Irfan tersenyum geli. Sangat gaduh.
Alasannya? panaslah, beratlah, capeklah, semua bercampur menjadi satu.

"Lha itu ada kaca mobil nda dibuka mau buat apa, Han??" kepala Zihro sedikit ditolehkan ke belakang lantaran gemas. Ya, Zihro duduk di jok depan bersama Raihan dan juga Irfan.

Farhan yang menahan beban Wahyu, dengan susah payah ia tepuk jidatnya. "Oh iya yoh! Haduuuhhh! Lali aku."

"Lali opo ndeso?" celetuk Zihro, membuat mereka yang ada di mobil tertawa terbahak-bahak.

"Ish! Yu! Coba kamu agak berdiri sedikit! I-ini ... Aduh! Tanganku mau mbuka kaca kok rasanya susah tenan!" gerutu Farhan.

"Inna ma'al 'usri yusraa. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan," celetuk Raihan yang dibalas cibiran oleh Farhan.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang