Anak Kecil dan Banjir (Bagian 1)

12 3 8
                                    


Hari ini hari Sabtu. Hujan sudah mengguyur kota sejak 4 hari yang lalu. Namun belum ada peringatan datangnya banjir dari satu-satunya bendungan yang ada di kota ini. Masyarakat masih beraktivitas seperti biasa meskipun hujan tidak berhenti-berhenti, termasuk aku.

Hari ini harusnya jadi hari libur kalau saja teman-temanku tidak meminta untuk kerja kelompok di sekolah. Aku sampai di kelasku pukul sepuluh pagi, baru ada dua orang dari kelompokku yang datang. Yang lain beralasan "aku otw nih" padahal aku yakin mereka baru bangun tidur. Akhirnya kelompok kami baru full team pada pukul 12 siang.

"Kerja kelompok" dimulai pukul satu karena beberapa orang sebelumnya beralasan kalau kita harusnya makan siang dulu.

Yah, aku paham kalau kalian malas karena aku juga malas, tapi kan ini untuk nilai semua orang! Harusnya kalian kerja dulu baru makan!

Mungkin itu yang akan aku teriakkan di depan mereka. Namun aku urungkan niatanku itu karena aku akan dicap ambisius. Kalian pasti tahu rasanya kan? Haah, mana yang katanya masa sekolah itu masanya untuk bersenang-senang? Di rumah kedua saja kita tidak boleh banyak bertingkah agar tidak digunjingkan orang-orang.

Oh, tak terasa kini sudah pukul empat sore. Pak satpam yang berjaga misuh-misuh mengusir kami karena sudah waktunya untuk mengunci ruang kelas. Beberapa orang kelompokku mencoba untuk membujuk satpam agar kami bisa berteduh di sekolah karena hujan yang masih saja turun dengan deras. Namun bukan berteduh di kelas yang kami dapat, melainkan berteduh di depan gerbang sekolah. Untung saja hujan mulai sedikit mereda, kami jadi tak perlu lama-lama berdiri di sini.

Karena rumahku dekat dari sekolah, aku pun berjalan sendirian setelah berpisah dengan teman-teman di lapangan voli yang beralih fungsi menjadi parkiran motor. Saat sedang asyik melamun, tiba-tiba air bah entah dari mana datang, menghantamku seperti tsunami. Setelah terseret arus beberapa meter, aku menabrak bagian belakang sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Badanku terasa sangat sakit, tapi aku menepisnya.

Untung aku nyangkut disini, kalau ngga bisa-bisa aku kebawa banjir, pikirku.

Aku mencoba bertahan dari arus air yang semakin kuat di belakang mobil ini. Tiba-tiba di kejauhan aku melihat ada seorang anak SD yang juga terbawa arus.

"Dek pegang tangan aku!" Teriakku padanya.

Bocah itu mengulurkan tangannya padaku dan aku mencoba meraihnya. Namun sayang, tangan kami sama-sama tak sampai. Bocah itu pun hanyut entah kemana. Aku panik tapi aku terlalu takut untuk berenang dan mengejarnya.

Akhirnya aku tetap bertahan di belakang mobil. Entah berapa lama aku disana, tahu-tahu langit sudah mulai gelap dan air yang daritadi menghantamku hilang entah kemana. Ya, air bah layaknya tsunami tadi tiba-tiba saja hilang, menyisakan jalanan yang becek, penuh lumpur dan sampah, serta beberapa ikan yang masih menggelepar kekurangan air.

Badanku gemetar. Kakiku terasa canggung saat digunakan untuk berjalan. Kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran negatif tentang bocah tadi. Kemana air membawanya pergi? Apakah ia selamat? Apakah ada seseorang yang sempat menangkapnya saat terbawa arus? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di kepalaku.

Dengan tubuh yang basah dari ujung kaki sampai ujung kepala, aku mulai berjalan ke rumah. Tiba-tiba aku melihat seorang anak SD berseragam pramuka, berlari menghampiriku. Aku terkejut bukan main. Anak itu, dia bocah yang tadi terseret arus banjir.

Dia sama sepertiku, basah dari atas sampai bawah. Untungnya tak ada luka sedikitpun di badannya. Belum sempat aku bertanya padanya, bocah itu berkata,

"Kak, main yuk!"

"Eh tapi ini udah sore, Dek, gimana kalo aku anterin kamu pulang aja?" tawarku. Dia terlihat berpikir beberapa detik lalu mengangguk.

"Yaudah, tapi kejar aku ya Kak! Hahahahaha!" katanya sambil tertawa dan mulai berlari.

"Eh tunggu! Jangan lari!" Teriakku lalu mulai mengejarnya.

Kami berlari, saling mengejar satu sama lain dan tertawa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bermain seperti ini. Maghrib sudah terlewati, sebentar lagi isya, tapi anak itu masih terus berlari dan tertawa, membuatku mengejarnya. Aku tidak tahu sudah berapa jauh aku berlari. Di sepanjang jalan juga tidak ada satupun orang yang kami temui, padahal harusnya banyak bapak-bapak yang pergi ke masjid di jam-jam ini. Orang-orang yang ada di dalam rumah juga seperti tidak terusik oleh teriakan dan tawa kami.

Hingga di suatu belokan, bocah laki-laki itu berhenti dan diam.

"Napa Dek? Kok tiba-tiba berhenti?" Tanyaku saat berhenti di dekatnya.

Anak itu menggenggam salah satu tanganku. Tangannya yang lain ia gunakan untuk menunjuk sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang dengan mobil ambulans di seberangnya.

"Itu rumah aku Kak, tapi kok banyak orang ya?" katanya.

Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan anggota keluarganya ada yang meninggal? Tapi aku tidak boleh membuat bocah ini khawatir. Aku pun menundukkan badanku agar sepantaran dengannya.

"Ayo cari tau sama-sama, tapi tetep pegang tangan aku dan jangan lari-lari lagi ya?" pintaku. Ia mengangguk paham.

Kami pun berjalan kesana, ke rumah yang dipenuhi orang-orang dan mobil ambulans yang terparkir di seberangnya. Ia masuk dan menarikku, menerobos orang-orang yang sepertinya tidak sadar akan keberadaan kami. Tiba-tiba ia berhenti dan menguatkan genggaman tangannya. Aku melihat ke arah yang dilihat bocah itu.

Seorang bocah sd dengan wajah yang serupa dengannya terbaring kaku di depan seorang ibu yang menangis pilu di pelukan suaminya.

"Dek, i-itu-"

"Oh iya aku lupa," katanya pelan, sukses membuatku merinding, "Aku kan udah mati."

Aku belum sempat berkata-kata lagi, tahu-tahu bocah ini menarikku menjauh dari rumahnya, ke dekat mobil ambulans.

"Makasih ya Kak, udah mau main sama aku hari ini. Aku...aku seneng banget, tapi aku sedih kalo Mamah juga sedih," katanya lalu mulai menangis.

"Tolong bilangin "jangan nangis" ke Mamah ya Kak, aku juga mau titip ini," katanya lalu menyodorkan empat buah gelang tali dengan ukiran nama. Aku membacanya satu-satu, ada Sania, Rahmadi, Arina, dan Adit. Sania dan Rahmadi mungkin nama orang tuanya dan Arina mungkin nama kakak perempuannya, jadi kemungkinannya nama bocah itu adalah Adit.

"Nama kamu Adit?" Tanyaku. Ia tersenyum di sela-sela tangisnya sambil mengangguk. Aku jongkok agar tinggiku sepantaran dengannya.

"Oke Adit, nanti aku kasih ini ke Mamah, kamu juga jangan nangis dong, masa cowo nangis," kataku. Tanpa sadar aku juga mulai menangis, "Tuhan pasti sayang banget sama kamu Dit, kamu udah jadi anak yang baik pasti selama ini."

Ia memelukku erat seakan tak mau pergi. Aku juga memeluknya erat. Rasanya seperti aku sedang memeluk anak kecil biasa sampai-sampai aku tidak bisa percaya kalau sosok yang aku peluk ini sudah bukan manusia lagi.

"Yang ada nama Adit buat Kakak aja, biar Kakak inget Adit ga cuma tiap hujan. Makasih ya Kak udah nolongin terus main sama Adit" bisiknya di telingaku. Aku mengangguk lalu mengenakan gelang bertuliskan 'Adit' di tangan kananku.

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan samar-samar aku mendengar teriakan orang-orang yang berlari ke arahku.

***

-Bersambung-

NovellejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang