Second Bloom

3.9K 435 58
                                    

Who's ready for father-son's love&hate interaction?? :D
Enjoy~
[La Fleur]

Jimin menuruni anak tangga dengan gontai. Tasnya ia sandang di bahu kanan. Almamater sekolahnya ia pegang dengan tangan kiri, sehingga tampak jelas kemeja putih dengan pinggiran merah maroon di kerah dan ujung lengan bajunya.

Jimin hampir saja membuka pintu saat seseorang berdiri di hadapannya.

"Nyonya besar sudah menunggu Tuan Muda di ruang makan." Tukas seorang wanita muda yang berdiri tegap dengan setelan jas dan rok hitamnya. Wanita ini adalah asisten pribadi sang nenek. Nenek Jimin merasa memerlukan pendamping untuk membantunya mengerjakan banyak hal.

"Aku tidak lapar." Jimin melanjutkan langkahnya namun terhalang oleh tubuh Hyebin yang memblokir jalan. Dengan wajah yang dipasang seramah mungkin, Hyebin menatap Jimin tanpa rasa segan. "Kurasa kau harus tetap ke ruang makan, Tuan. Atau Nyonya besar tidak akan mengizinkanmu untuk keluar dari rumah ini sampai beliau memastikan bahwa kau sudah memasukkan beberapa beberapa gigit roti ke dalam ususmu yang kecil itu."

Penjelasan panjang dan lebar itu membuat Jimin tidak berkutik. Ia menghembuskan napas kesal lalu mengubah haluan menuju ruang makan. Tentu didampingi oleh Hyebin yang memastikan bahwa tuan mudanya sampai dengan selamat di meja makan.

"Jimin-ah. Sarapan dulu. Nenek sudah membuatkan French toast untukmu." Sang nenek meletakkan dua telur mata sapi setengah matang ke atas roti. PIring berisi roti itu diletakkan di depan Jimin yang terpaksa duduk karena sedari tadi di awasi oleh Hyebin.

Jimin sama sekali tidak berselera untuk memasukkan roti itu ke mulutnya. Bukan karena tampilannya ynag tidak menarik, namun karena memang lidah Jimin sudah mati rasa. Tidak ada makanan yang terasa enak jika itu adalah makanan rumah.

Jimin melirik ke arah meja yang sudah terdapat piring. Piring kosong dan gelas berisi setengah air. Tampak sebuah ponsel di samping piring. Sang Nenek menyadari pergerakan mata Jimin. "Ayahmu sudah berangkat. Ia sudah sarapan lebih dulu. Tadinya ingin menunggumu, tapi ada rapat penting yang tidak bisa ditunda. Saking terburu-burunya, ponselnya saja tertinggal." Jelas sang Nenek tanpa perlu mendengar pertanyaan Jimin.

"Sebentar lagi, supir Tuan Besar akan mengambil ponsel ini, Nyonya." Lapor Hyebin yang tadi memang mendapat pesan dari sekretaris Hoseok.

Jimin memutar bola matanya malas saat mendengar penjelasan sang nenek. Penjelasan yang sudah ia hapalkan di luar kepala. Gendang telinganya sudah jenuh mendengarkan alasan klasik itu. Rapat penting. Tidak bisa ditunda. Pekerjaan adalah nomor satu bagi ayah Jimin.

"Aku kenyang. Terima kasih atas makanannya." Jimin beranjak dari kursi.

"Kau bahkan belum menggigit rotimu, Jimin-ah?" Sang nenek berseru pada cucunya yang sudah di menjauhi ruang makan. Pelayan bermaksud menyusul Jimin , namun langkahnya terhenti saat sang nenek mencegahnya.

"Biarkan saja, Hyebin. Seleranya pasti sudah hilang setelah tahu ayahnya tidak menunggunya untuk sarapan."

Hyebin mengangguk. Membiarkan Tuan Mudanya keluar dan berangkat ke sekolah sendirian.

###

Bugh

Sebuah pukulan mendarat di wajah mulus Jimin. Kerah bajunya di tarik kasar oleh seorang remaja yang mau? sepantaran dengannya. Belum puas membuat pipi Jimin membiru, ia kembali melayangkan tinju ke wajah kiri Jimin. Membuat gusi Jimin sedikit berdarah. Jimin tersungkur. Ia meludah. Membuang darah yang menumpuk di mulutnya.

"Kenapa kau tidak melawan, Jung Jimin?! Kau ingin membuatku tampak semakin buruk?!" seru remaja itu sambil mengatur napasnya yang terengah. Jimin menyunggingkan senyum miringnya.

"Sudah puas memukulku, Kim Taehyung? Sudah puas menuduhku sebagai perebut pacarmu?" Jimin berkata dengan nada rendah.

"Berengsek!" Remaja bernama Taehyung itu kembali mengangkat tubuh Jimin dengar menarik kerah Jimin. Kepalannya sudah di samping kepala saat tiba-tiba ia terhenti. Wajah Jimin sama sekali tak tersentak. Jimin bahkan melemparkan tatapan semakin menantang. Menguji seberapa besar keberanian Taehyung untuk menghabisi dirinya.

"Kenapa kau berhenti hm?" tanya Jimin dengan suara serak. Taehyung menggertakkan giginya kesal. Ia melepas kasar genggamannya dari kerah Jimin. Mendorong Jimin menjauh dari tubuhnya. Jimin terhuyung, namun masih sanggup menahan tubuhnya untuk berdiri.

"Jangan pernah kau mendekati Haeri lagi! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!' Taehyung mengibaskan jas almamaternya dari sisa-sisa debu. Lalu meninggalkan Jimin di halaman belakang sekolah yang tersembunyi. Tertutup oleh semak-semak tinggi. Seiring Taehyung menghilang dari hadapannya, Jimin terduduk lemas di tanah. Memegang perutnya yang sedikit merasa mual karena diguncang dan dijadikan sasana tinju oleh Taehyung.

Jimin masih tak mengerti apa masalah Taehyung hingga memutuskan untuk memukuli Jimin. Dari yang Taehyung lontarkan saat pertama kali menghajar Jimin, Taehyung sepertinya cemburu buta. Cemburu karena sempat melihat Haeri, pacarnya yang sangat ia cintai, sedang membantu Jimin mengobati luka di tangannya saat Jimin berada di UKS. Haeri memang salah satu anggota perawat sekolah yang harus siap sedia untuk menolong temannya yang membutuhkan pertolongan. Kebetulan, waktu itu Jimin-lah yang membutuhkan bantuan untuk mengobati luka menganga yang cukup besar di tangan kanannya karena terkena pecahan kaca.

Tak disangka ternyata Taehyung melihat kejadia yang hanya satu kali itu dan mengambil kesimpulan bahwa Jimin adalah tersangkanya. Alasan lemah itu Taehyung gunakan untuk menghajar Jimin.

Namun, JImin tampak tak melawan. Dirinya malah senang terlibat dengan hal seperti ini. Tidak ada yang menganggapnya baik. Semua guru sudah memberikan label buruk. Jimin. Siswa nakal seantero sekolah. Selalu dihukum karena menciptakan berbagai kekacauan. Untung saja sekolah tidak langsung mengeluarkannya karena JImin tercatat sebagai anak dari salah satu penyumbang terbesar di sekolah. Namun, bagaimana pun juga, sekolah mungkin akan tetap mengambil tindakan tegas untuk siswanya yang melakukan kenakalan berlebihan.

Bel sekolah berdering. Pertanda jam istirahat sudah selesai. Alih-alih beranjak menuju kelas, Jimin malah membaringkan tubuhnya di atas tanah. Ia menatap langit cerah. Ditandai dengan warna biru cantik yang menghampar di depan mata Jimin. Matanya memicing karena sinar matahari. Ia tutup sinar matahari itu dengan tangannya. Perlahan, mata JImin menutup. Ia memilih beristirahat dari kejadian pelik yang ia alami hari ini.

###

Nenek JImin berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sudah jam delapan malam, namun Jimin belum juga menampakkan diri di rumah. Nenek Jimin sudah menelpon ke sekolah. Sekolah mengatakan Jimin tidak masuk ke kelas sejak pelajaran terakhir. Ponsel Jimin tidak aktif. Hyebin menyarankan untuk menelpon polisi ketika Hoseok membuka pintu rumah. Hoseok sedikit terkejut karena disambut dengan tatapan panik sang ibu.

"Hoseok-ah. Jimin belum pulang."

"Apa?" Hoseok mengernyit. "Sudah menghubungi sekolah? Atau temannya?"

Nenek Jimin mengangguk. "Sekolah bilang Jimin tercatat membolos saat pelajaran terakhir. Tidak ada satupun teman Jimin yang bisa dihubungi, Hoseok-ah. Jimin tidak pernah menceritakan tentang temannya."

Hoseok mengacak rambutnya kasar. "Aku akan mencarinya. Kau telpon polisi. Berjaga-jaga kalau sesuatu terjadi." Hoseok membuka kembali pintu dengan tergesa. Tubuhnya hampir menabrak seseorang jika saja ia tak memiliki refleks untuk berhenti.

"Jimin!"

To be continued

[La Fleur]

Pilih cepet update atau agak lama update-nya?

Kalau masih ada typo, mohon maafkan ya. Nanti akan aku perbaiki.

Borahae

Wella
231218 (02.14 pm)

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang