Sepucuk surat cinta untukmu yang selalu tersenyum dalam tangisku, tangismu dan tangis dunia.
Bu, bisakah Ibu sejenak duduk di dekatku? Aku ingin engkau mendengar tentang deskripsi suci hadirnya senyummu dan betapa bahagianya aku memilikimu. Bahkan, telah ditakdirkanNya aku menjadi anak perempuanmu.
Ibuku tercinta,
Mari dengarkan suara dari keikhlasan hati ini. Ingatkah tentang malam-malam pekat yang pernah kita tapaki bersama? Tentang bangkitnya kita dari dunia yang terus berusaha menjatuhkan kita. Tentang senyum yang masih bisa kita sematkan meski keadaan begitu mengerdilkan kita. Garis tawa menjadi hal yang seolah tidak mungkin berakhir di penghujung hari, tentang sesuatu yang kita sederhanakan hingga terciptalah kebahagiaan.Bu,
Aku perempuan kecilmu yang begitu sering merepotkanmu, membuatmu sedih dan tak habis pikir. Terlampau banyak derita yang ikhlas engkau emban karenaku, mengandungku selama 9 bulan, menahan rasa yang teramat sakit, berjuang sedemikian hebat hingga aku terlahir ke dunia ini. Akulah yang pernah meminta banyak sabarmu, dan menguras habis air matamu di usiaku yang ke tujuh bulan. Ketika Allah mengujimu melalui sakit keras yang aku alami, sesak napas yang begitu hebat, hingga banyak orang berpikir bahwa aku takkan bisa bertahan hidup. Tapi Ibu begitu sabar merawatku, melangitkan doa-doa terbaik hingga Allah memberiku kesempatan untuk sehat dan membersamaimu. Dengan kemahabaikannya Allah, Allah mengangkat penyakitku, hingga aku bahkan tak tahu bagaimana rasanya sesak.Saat itu aku ingat, hari pertama aku masuk Sekolah Dasar, Ibu mengantarkanku ke sekolah. Aku masuk kelas dan duduk di bangku paling depan, kulihat Ibu mengintip di pintu dan melihat ke arahku, tersenyum dan menyemangatiku. Hingga waktu terus bergulir aku kian semangat belajar, mempertahankan juara kelas dan membuatmu bangga.
Dulu, betapa banyak kenakalan yang kuperbuat hingga membuatmu malu dengan tetangga, masih terekam jelas di ingatanku. Saat itu aku main prosotan hingga membuat tangan temanku terkilir, Ibulah yang harus bertanggung jawab dan mengobatinya, dan juga betapa sok jagoannya aku menendang perut temanku dengan sekuat tenaga gara-gara dia mengencingi bunga yang kutanam di depan rumah, hingga ia menjerit dan menangis. Aih maafkan aku bu, aku menyesal dengan segala kenakalanku.
Aku terlalu naif, sekedar untuk meminta maaf denganmu, tahukah Bu? Aku selalu menunggu hari raya tiba, untuk melepas segala maluku, segala egoku. Untuk bisa menangis memelukmu, menangis mengharapkan segala maafmu. Ibu tetap tenang, meski kutahu ada hujan yang diam-diam jatuh di pelupuk matamu. Ibu memelukku dan menangis mencium pipiku, dan aku merasa menjadi wanita terapuh saat itu.
Waktu terus berputar, hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Sekarang aku telah tumbuh dewasa, menjadi dewasa adalah menjadi seseorang yang berani bertanggung jawab. Dulu sewaktu kecil, aku selalu meminta pembenaran dari Ibu tiap kali melakukan sesuatu yang tidak biasa. Sekarang, aku harus bisa menjaga diriku sendiri Bu. Berat, berat sekali, aku harus menopang kedua kakiku agar tidak tergelincir. Tapi Allah menguatkanku melalui Ibu yang pernah mengajarkanku untuk dewasa, untuk mandiri, untuk tegar, hingga aku mampu melewati setiap badai-badai yang menghempas kebahagiaanku.
Bu, kemarin saat terakhir aku pulang, Ibu mengeluhkan kaki Ibu yang linu. Saat itu aku hanya terdiam, merutuki diri sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Tapi Ibu tidak pernah sedih kan? Ibu menerima semua penyakit yang Allah berikan dengan (ah sekali lagi) sabar. Bahwa itu ujian Allah, bahkan itu tidak menjadi alasan Ibu untuk menghentikan aktifitas. Maafkan aku yang tak bisa berbuat apa-apa, Bu.
Di usiaku yang kian bertambah, banyak kekhawatiranmu tentangku kan? Tentang aku anak perempuanmu yang sulit jatuh cinta. Karena bagiku cinta bukanlah prahara yang main-main Bu, aku tidak ingin membiarkan hatiku penuh dengan sampah kenangan yang akhirnya hanya menjadi masa lalu. Aku ingin menjatuhkan hatiku pada dia yang telah Allah pilih untukku.
Bu, seringkali hidup memang sulit ditebak, cinta hadir tanpa kupinta, cinta datang tanpa kutahu seberapa siap aku menerima, menerima kebahagiaan ataupun kehilangan. Saat itu, dia datang mengetuk hatiku yang telah lama tak bertuan. Membawa cinta dengan segala keseriusan yang telah kurekam di jejak matanya. Setelah sekian penolakanku akan warna warni cinta yang mereka tawarkan, tapi tidak dengannya, dia membuatku menerima, membuatku terpana, hingga aku jatuh cinta.
Saat itu, hari-hariku penuh warna, rencana pernikahan telah disusun sedemikian hingga. Tapi ternyata Allah selalu punya rencana terbaik, rencana yang berbeda dengan apa yang kita rencanakan. Desember ini seharusnya menjadi hari bahagiaku, semuanya hancur menjadi serpihan-serpihan pilu dan airmata. Terbang bersama debu-debu kesedihan, menatap sendu akan kegagalan yang tak pernah kuharapkan. “Tidak apa-apa, yang Allah takdirkan adalah terbaik. Sekarang fokus dengan pendidikanmu, 1 tahun lagi Ibu ingin melihatmu bangga dengan togamu.” Kata Ibu menenangkanku.
Saat itu, aku sempat rapuh Bu, aku membiarkan hatiku patah, merelakan semuanya, merasakan pedihnya, mengunyah pahitnya, menikmati sakitnya. Dan menggenggam erat luka-luka yang menganga itu. Hingga setelahnya aku bisa bernapas lega. Ya, kini aku sudah merasakan betapa plong-nya melepaskan. Betapa damainya merelakan, dan betapa tabahnya mengikhlaskan.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menutup hatiku dari siapapun yang datang. Dari mereka yang mencoba mengetuk pintu hatiku, dari mereka yang menawarkan warna-warni cinta. Bahkan aku mulai menyerah atas apa-apa yang menjadi inginku, tak ingin memaksa, tak ingin lagi terluka. Karena sesekali luka lama itu kembali menganga, hingga aku tidak benar-benar kuat. Rapuh, jatuh dan menangis sedemikian hingga atas kelemahanku. Tapi aku tidak pernah menampakkan kerapuhanku di hadapanmu, aku tidak ingin Ibu khawatir, aku tidak ingin Ibu bersedih, aku hanya ingin Ibu melihat bahagiaku, dan cerah ceria yang kusuguhkan setiap kali aku pulang.
Aku berusaha melupakan hal itu bu, aku mencari kebahagiaanku dengan hal-hal positif yang aku lakukan, menulis buku, membaca tumpukan buku yang kukoleksi, bertemu dengan teman-teman, hadir di majlis ilmu yang bisa membuatku tenang, dan mengerjakan skripsiku. Aku ingin membahagiakanmu, aku ingin Ibu tersenyum di hari wisudaku, bahagia menatapku memakai toga dan jubah kebanggaanku.
Bu, terimakasihTerimakasih tak terhingga, setelah ratusan purnama kita lewati, Ibu masih sabar membersamaiku. Maaf, sampai detik ini aku bahkan belum bisa membahagiakanmu. Aku akan tetap terus mengusahakannya, melangitkan doa-doa terbaik untukmu. Tetap sehat, ya, Bu. Aku ingin bersamamu lebih lama, bahkan hingga syurga nanti, aku mencintaimu karena Allah.
Putrimu
Riska Puji Astuti---
Dalam Buku Antologi Halaman 103
Judul : Yang Acapkali Tak dapat Diungkapkan
Penerbit : Alfannani Publisher
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Acapkali Tak Dapat Diungkapkan (SELESAI)
PoetrySepucuk surat untuk perempuan hebat yang biasa kupanggil dengan sebutan "IBU"