Semalam keluarga Fifah ke rumah Rina berikut Mamanya Rio yang sengaja pulang dari rantauan demi menyaksikan moment putra semata wayangnya.
Iya, mereka mengunjungi rumah Rina untuk melamar gadis itu. Acara berjalan lancar, tanggal pernikahan sudah ditentukan, setelah itu mereka pulang ke rumah, Fifah mengurung diri di kamar.
"Fiks! Aku pikir aku udah ikhlas melepas anak itu. Tapi ternyata rasanya masih sakit juga," gerutu Fifah.
Gadis itu memeluk bantal ditemani hamparan bintang yang ia lihat melalui jendela kamar. Tampak indah memesona kilaunya. Mereka seakan berlomba-lomba memikat malam hingga bumi Indonesia kembali berputar menatap sang surya.
"Aku pamit, Lik." Fifah mengulurkan tangannya pada Mama Rio yang sepagi ini sudah berkutat dengan alat make up.
Benar-benar tidak mengalihkan pandangan dari depan cermin kecil! Wanita itu justru memoles bibirnya dengan lipstik.
"Jam berapa ini, Fifah? Kamu berangkat pagi banget," ujarnya usai meletakkan salah satu batang lipstiknya di jajaran kotak make up yang tergolong lengkap.
"Aku ada tugas mendadak di sekolah."
"PR?"
Fifah diam. Meski ucapannya barusan termasuk kebohongan, intinya sekarang ia harus cepat-cepat hengkang dari rumah atau kalau tidak ia harus merasa tersakiti ketika melihat cincin tunangan melingkar di jari manis Rio.
Cukuplah hanya semalam luka bercucuran darah di dalam dada. Semua takkan terobati dalam waktu sekejap saja. Kecuali ... amnesia.
"Mmm yaa begitulah,"
"Berangkat bareng aja. Kebetulan nanti kita juga mau pergi."
Fifah mengernyitkan dahi. "Kita?"
"Iya, bareng Rio sama Rina."
Fifah menghela napas. Lagi-lagi dua nama pasangan itu yang disebut. Jika ia bisa merasa terluka hanya dengan melihat cincin tunangan yang melingkar di jari manis Rio, jangankan nanti ketika ia melihat cincin yang sama juga melingkar di jari manis Rina. Memperparah luka saja!
Entah serapuh apapun, Fifah berusaha tegar. Ya, meski saat ini matanya sudah merasa panas siap dibanjiri dengan air mata.
"Oya? Sepagi ini kalian mau kemana?"
"Biasa ... orang kalo mau pengantenan pasti sibuk. Pesen undangan lah, baju penganten lah, trus nyari penata rias yang pas."
"Ooh begitu." Fifah mengangguk-angguk. "Mmm tapi kayaknya aku berangkat duluan deh."
"Dibilang bareng, kamu ini keras kepala juga ya! Tunggu Rio sebentar. Palingan dia lagi ganti baju."
"Nggak mau ah! Pasti mau nyamper Rina, kan? Kalo iya, bisa-bisa aku terlambat ke sekolah."
"Cuma sebentar, Fah. Nih, ojek mobil onlinenya udah di jalan. Bentar lagi mau ke sini." Mama Rio menunjukkan ponselnya yang menampilkan rute.
Beberapa detik Fifah lihat layar ponsel itu seraya berpikir. Tanpa basa-basi, spontan otak memerintahkan tangan Fifah untuk meraih paksa tangan wanita itu yang kemudian diciumnya. Lalu ia berlari ke luar rumah seraya berteriak, "Aku berangkat yaa! Assalamu'alaikum!"
Mendengar teriakan itu, Rio keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Kedua tangannya masih mengancingkan kancing baju bagian bawah dan rambutnya yang basah masih terlihat acak-acakan.
"Loh? Fifah mana?" ia celingukan keluar rumah.
"Udah berangkat duluan. Disuruh nungguin kamu nggak mau. Katanya lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Cinta-Nya Kucintai Dirimu
SpiritualRank 1 in Sholeha (06/02/2019) Rank 1 in Santri (27/02/2019) Rank 1 in smk (17/03/2019) Rank 1 in Pacaran setelah menikah (02/04/2019) Tuhan, sang Maha membolak-balikan hati semudah membalikan telapak tangan. Pada sebuah kehidupan di muka bumi, Tuha...