Lalu jauh di pojok hati saya, meletup-letup sesuatu yang mati-matian saya coba bunuh. Bayangannya, bayangannya mencium saya, dan senyumnya yang indah. Saya berbisik lirih sebelum tidur malam itu, "Hardi ..."
*
Saya kembali berdiri. Salah seorang teman mengulurkan tangan untuk membantu saya. Hardi masih ada di hadapan saya, seperti orang putus asa.
"Cepat pergi sekarang. Aku tidak bisa melindungimu lagi," dia pegangi kedua pundak saya. Dia tahan-tahan air matanya supaya tidak keluar.
"Lepas," teman saya menyentakkan tangan Hardi dari pundak saya. Teriakan – teriakan mereka masih bergema. Salah seorang kawan berdebat dengan mereka, pukulan dia dapat sebagai hadiah. Dia tersungkur sambil meringis. Kami saling dorong. Nama Amarah masih diteriakkan dengan garang, saya sebutkan nama Tuhan pelan-pelan untuk mencari kedamaian di dalamnya, di tengah hingar bingar yang meyesakkan dada saya.
*
Setiap hari sesudahnya, dia selalu duduk di sebelah saya apabila kami ada di kelas yang sama. Kami berdua tidak berbicara. Saya tidak tahu apa yang harus saya bicarakan. Dia juga tidak berbicara ketika dia tiba-tiba berhenti di depan saya dengan motor bututnya. Hanya helm yang dia ulurkan. Saya ingin menolak, tapi godaan untuk merasakan hangat tubuhnya kembali seperti tempo hari terlalu besar untuk saya tolak. Cepat-cepat dia memacu motornya. Saya bersembunyi, dia juga bersembunyi. Kami tidak ingin mereka tahu hubungan aneh yang membuat saya bersemangat itu. Tangannya yang besar mencari-cari tangan saya, membimbing saya untuk melingkarkan tangan di seputar pinggangnya. Saya suka. Dada saya berhimpitan dengan punggungnya. Saya bisa merasakan detak jantungnya yang memburu ketika kami ada di pinggiran kota, tempat tebu-tebu tinggi telah meninggi. Kami saling melumat, saling menyesap. Saling menumpahkan gemuruh di hati ini.
"Kita ini apa?" saya bertanya ketika gemuruh itu telah mereda.
"Aku tidak tahu," jawabnya. Berdua sama-sama kami berbaring di atas jaket yang kami gelar seperti tikar. Berdua kami melihat langit dari sela-sela tanaman tebu yang sebentar-sebentar bergoyang karena angin.
"Apa ini benar?" kembali saya bertanya.
"Aku tidak tahu."
"Tapi ini indah. Keindahan apa yang bisa salah?"
"Aku tidak tahu." Saya peluk badannya dan dia mengusap rambut saya. "Kita nikmati saja apa yang ada sekarang," dia jawab. Tujuh kata, dan itulah kalimat terpanjang yang dia pernah ucapkan pada saya sejak kami bertemu, sekaligus kalimat terakhir. Tujuh tahun yang lalu sampai kami bertemu kembali sekarang ini.*
Mereka semua masih marah. Beberapa teman saya terjungkal. Kami masih saling dorong. Saya terhimpit di tengah-tengah, di antara dua kelompok yang sama-sama merasa benar. Kelompoknya, dan kelompok saya. Dia mendekap kepala saya kemudian, dan menerima pukulan-pukulan yang ditujukan pada saya. "Aku telah berdamai dengan diriku, dirimu, dan penciptaku," dia berbisik, sebelum raungan mobil polisi dan ambulans membuyarkan pertikain kami. Dia tersenyum, sebelum menutup matanya.
YOU ARE READING
Sebelum Menutup Mata
Short StorySepasang kekasih yang telah lama berpisah dipertemukan kembali ketika sebuah prahara sedang menggelora membawa mereka dalam kisaran romansa masa lalu