17:Album

40 7 0
                                    

MUNGKIN memang kali ini adalah keberuntungannya karena Alan datang tepat pada waktunya. Tapi disisi lain, Kay jadi tak enak dengan Ito. Perasaan tak enak ini berbeda dengan perasaan tak enaknya ke Alan disaat ia diantar pulang oleh Ito. Perasaan tak enak ini hanya sebatas tak enak karena menolak Ito.

     Kay tak mau ambil pusing lagi. Alan dan Kay belum sampai ke rumah mereka. Alan membuka topik obrolan baru.

     "Besok-besok kalau ekskul pulangnya bareng gue aja."

     Perkataan Alan barusan sukses membuat jantung Kay berdetak lebih cepat. Tetapi Kay tak enak jika setiap pulang ekskul dirinya pulang bersama Alan.

     "Nggak usah, ngerepotin. Lagian lo ngapain kalau tiap minggu nungguin gue selesai marching band."

     Alan malah tertawa. "Yaelah nggak enakan banget jadi cewek. Lagian gue juga bisa nongkrong dulu di warkop sambil nungguin lo. Apalagi rumah kita searah, samping-sampingan malah."

     "Nggak us—" belum selesai Kay bicara, Alan malah bicara lagi.

     "Santai, Kay. Daripada di rumah nggak ngapa-ngapain mending gue nungguin lo. Seminggu sekali doang ini kan?"

     Kay tak dapat berkata apa-apa lagi. Percuma saja dirinya menolak Alan dengan berbagai alasan. Lelaki itu tak pantang menyerah dan yang akhirnya membuat Kay mau pulang bersamanya sekali dalam seminggu.

     Bagi Alan, seminggu sekali adalah waktu yang lebih dari cukup untuk dirinya mengenal Kay lebih dalam. Bagi Alan, waktu tersebut adalah kesempatan emas yang ia tunggu-tunggu sejak lama.

     Sampai di rumah mereka, Kay turun didepan rumahnya dan mengucapkan terimakasih pada Alan. Alan hanya membalas dengan seulas senyum. Lalu Alan memajukan motornya kedepan gerbang rumahnya dan memasukkan motornya ke garasi rumahnya.

     Kay mengetuk pintu rumahnya. Begitu pintu itu dibuka, Rose menyambut Kay dengan hangat. Tak lupa Rose memeluk putrinya itu. Rose menatap sekitar lingkungan rumahnya.

     "Kamu pulang sama siapa?"

     "Emm...sama..." Kay menggaruk lehernya belakangnya, ia bingung ingin menjawab jujur atau tidak.

     "Siapa?" Ulang Rose sambil tersenyum.

     Kedua bola mata Kay diam-diam menatap rumah Alan. Rose yang mengerti, langsung menyimpulkan putrinya ini pulang dengan siapa.

     "Alan ya?"

     Kedua pipi Kay langsung memerah. Ini yang Kay kesalkan dari mamanya. Karena mamanya adalah psikolog, Kay jadi sulit untuk berbohong. Selalu saja ketahuan oleh mamanya.

     "Iya, Ma." Kay menunduk malu.

     Rose tersenyum. "Nggak usah malu, sayang. Bagus malah kalau Alan mau nganterin kamu pulang. Yaudah, masuk sana."

     Begitu Kay sudah melewatinya dan naik ke lantai dua, ia bergumam. "Akhirnya."

***

Sudah lama Rose memendam masalah ini. Sudah 9 tahun lamanya ia merahasiakannya. Bukan merahasiakan, lebih tepatnya mencoba melupakan masalah tersebut.

     Kedua putrinya itu sepertinya sudah melupakan kejadian kelam itu. Walau sepertinya putri-putrinya itu masih dapat mengingat sedikit peristiwa traumatik itu.

     Rose begitu bersyukur karena beberapa waktu setelah kejadian itu, mereka tertimpa musibah yang sebenarnya begitu menyelamatkan kedua putrinya itu. Akibat musibah itu, mereka kehilangan beberapa potong memori masa kecilnya.

AntiSocialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang