Highway to Hell : It's Not Me, Baby

57 7 16
                                    

Harusnya Ayara tahu bahwa dirinya merupakan sumber malapetaka bagi keluarganya. Tidak- maksudnya, tentu dia tahu. Tahu dan sadar betul akan posisinya, hanya saja ia berusaha menepis kuat-kuat ketika selusin kabut pekat hinggap memenuhi rongga dalam kepala dan membuat semua hal menjadi semakin kelabu. Kurang lebih sekitar sembilan kali dalam seminggu sepanjang musim, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan.

Katakanlah bahwa dia tidak pernah meminta untuk dilahirkan, memiliki garis takdir yang tidak ingin dimiliki oleh siapapun atau hal semacamnya.

Ha. Teruslah mengelak, gadis sialan.

Ingin sekali rasanya tertawa melihat pantulan dirinya pada cermin, berkata seolah-olah dia adalah kotoran yang seharusnya ada pada kubangan pembuangan bersama sampah lain dan bukannya berada di sini.

Tidak peduli seberapa ingin gadis itu menghabisi diri dengan menenggak aspirin sebanyak mungkin atau menceburkan diri ke dalam kolam penampungan air, Mama selalu memandangnya dengan tatapan terluka seolah dia tahu segala isi kepalanya. Bahkan tanpa gadis itu beri tahu sekali pun. Meyakinkan bahwa ia hanya perlu sedikit menerima dirinya, seburuk apapun itu.

Dulu sekali, ketika usianya kisaran enam atau mungkin lebih- ia tidak begitu ingat, saat musim dingin di bulan Desember Mama selalu membawa senampan biskuit dengan tiga cangkir cokelat hangat untuk disantap bersama pada sofa di depan perapian.

Selalu. Biskuit dan cokelat hangat yang sama.

Meskipun penghangat ruangan kerap kali bermasalah, membuat mereka menggigil pun tak apa, pikirnya. Asal dia, Mama dan kakak laki-lakinya berbagi selimut tebal dan pakaian musim dingin hangat bersama, gadis cilik itu rasa mereka tidak akan terkena demam pada keesokan harinya.

Barangkali dia harusnya meminta penghangat ruangan baru pada Santa, jika pria berjanggut panjang itu memang tidak lupa menambahkan rumahnya ke dalam daftar kunjungan akhir tahun.

Dia masih ingat betul bagaimana usapan lembut Mama pada puncak kepala sukses mengirimkan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, membacakan beberapa dongeng tua yang sebetulnya sudah ia dan kakaknya dengar puluhan kali hingga keduanya tertidur dalam dekapan.

Ia juga masih ingat bagaimana senyum indah itu merekah seperti sakura di musim semi saat mengetahui dirinya mendapat juara kelas pada tahun keempat Sekolah Dasar. Bukan pasal nilai sebenarnya, tapi melihat pandangan sayu perempuan itu setiap saat seolah bisa terjatuh kapan saja membuatnya berpikir dua kali untuk membuatnya kecewa.

Setidaknya bukan hari itu.

Jung Ayara dan Jung Hoseok adalah saudara. Mereka berbagi rahim yang sama, tangis dan tawa yang sama. Mereka mengenal satu sama lain melebihi siapa pun. Meski demikian, kembar tidak selalu serupa. Mirip bukan berarti sama.

Jika Hoseok adalah cerminan matahari, maka dia adalah gerhana. Sekejap. Tak begitu lama. Tapi cukup untuk membuat dunia menghitam dalam beberapa saat.

Lucu sekali, seolah semuanya adalah lawakan tua yang bisa membuatnya terbahak. Namun satu yang pasti bahwa isi kepalanya bukan merupakan bualan semata, menyadari begitu banyak kekacauan yang telah ia ciptakan.

Benar, dia dan Hoseok adalah dua hal yang amat berbeda.

Netra gadis itu setengah terpejam, napasnya melambat. Aroma sisa kayu bakar pada perapian masih samar tercium. Irisnya terpusat pada pisau dalam genggaman, sedikit bergetar hingga pandangannya mulai berkaca.

Ayolah, ini bukan yang pertama kalinya, Ayara. Kau bisa melakukannya.

Kembali mengatur napas, gadis itu mulai menyentuhkan benda tajam itu pada permukaan kulit leher, mengirim rasa dingin bercampur ngeri yang luar biasa. Menekan pada ujung dan menggeseknya pelan hingga benda itu sedikit banyak menyayat kulit, mengeluarkan cairan merah pekat berbau besi berkarat.

Gadis itu terisak, jemarinya bergetar hebat, mengabaikan perih, menulikan telinga, memejamkan mata yang sejak tadi sudah sembab.

Harusnya ia sukses menciptakan satu lagi sayatan lebar jika saja Hoseok tidak menghampiri dengan napas memburu, menyambar tangan kanannya dan merebut pisau tersebut dengan kilatan murka setengah berteriak, "Apa yang kau lakukan, Ayara?!"

Gemeletuk pisau terjatuh dari tangan. Gadis itu tumbang dalam rengkuhan. Pandangannya mengabur, tanpa menilik pun Ayara tahu Hoseok terisak khawatir setengah mati dengan terus mengguncang tubuh kurusnya.

Hening. Ia tidak mendengar apapun selain mendapati Hoseok yang terlihat begitu kacau. Terisak keras menyalahkan diri atas kelalaiannya. Jika saja dia tidak meninggalkan gadis itu untuk menyelesaikan pekerjaannya maka semua ini tidak akan pernah terjadi, jika saja dia datang lebih awal mungkin saja dia bisa mencegahnya.

Ya, jika saja.

"Hoseok," satu tetes cairan bening terjatuh begitu saja. Tersenyum sendu, gadis itu melanjutkan lirih, "Tidak perlu sampai menangis begitu."

Pemuda itu menoleh, memandangnya dengan tubuh yang masih bergetar. Suaranya terdengar begitu menyayat telinga ketika menjawab, "Kenapa kau lakukan ini, Ayara?"

"Hei, lihat aku. Aku baik-baik saja sekarang. Jangan terlalu risau."

Hoseok menggeleng, meletakkan telunjuknya pada bibir sang adik guna membungkam kalimat yang terus meluncur. "Sttt. Jangan katakan apapun."

Mengambil pasokan oksigen yang semakin menipis, pemuda itu menghapus jejak air mata pada kedua pipi kemudian melanjutkan, "Tentu, kau akan baik-baik saja. Aku akan menelpon ambulans dan-"

"Tidak perlu."

"Ayara, kau ini-"

"Sudah kubilang tidak perlu, Hoseok." Gadis itu mengatupkan kelopak mata selama beberapa saat, membukanya perlahan kemudian melanjutkan, "Lihat? tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Pemuda itu tersentak, napasnya kian memburu. Penglihatannya yang salah atau memang benar kulit yang terbelek itu terlihat perlahan kembali menyatu pada tempatnya. Sayatan lebar menganga itu sudah tidak ada lagi, meninggalkan jejak darah yang masih basah.

"B-bagaimana bisa-"

"Ingat saat aku terjatuh dari sepeda dulu? Mama memberikan plester pada lukaku bukan agar sembuh."

Gadis itu menjeda, kedua netranya menerawang ke atas dan Hoseok masih menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Tapi untuk menutupinya seolah-olah luka itu masih ada di sana."

Mempertemukan kedua netranya pada milik Hoseok yang sepenuhnya masih belum percaya, pemuda itu mendadak jadi bungkam dengan berbagai spekulasi yang berkecamuk dalam kepala.

"Hoseok, Mama membohongimu. Aku bukan saudara kembarmu sepenuhnya. Harusnya sejak awal memang tak pernah ada."

Mengatur napas yang kian menyesakkan, kemudian gadis itu melanjutkan setengah frustasi, "Aku ini tidak bisa terluka. Aku abadi. Bahkan jika seseorang memenggal kepalaku hingga putus mungkin urat dan daging itu akan kembali menyatu. Haha. Lucu, bukan?"

.

.

.

.

.

.

.

.


"Sebab Mama telah menjual jiwanya pada iblis untuk merebut kembali nyawaku dari kematian."

##

Highway to HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang