Chan tahu itu salah.
Keposesifannya pada Felix, perhatiannya yang berlebihan, hingga perasaan yang diam-diam dipendam pemuda itu untuk adiknya, murni sebuah kesalahan.
Tidak ada kakak yang boleh memiliki perasaan berlebihan untuk adiknya, yang dilindungi dan disayanginya sejak kecil.
Maka saat tangannya hendak melepaskan kancing terakhir kemeja adiknya—dia berhenti.
"Kita gak bisa gini, dek."
Felix—dengan wajah memerah dan nafas memburu—menghembuskan nafas frustasi. "Really? Di keadaan yang udah kayak gini? Don't act like a saint when you trully are a sinner, kak."
Chan hanya tersenyum, tak berniat membalas kalimat sarkastis Felix. Pemuda itu hanya mengancingkan kembali kemeja Felix, dan berusaha membuat adiknya berdiri dari duduk di pangkuannya. "Kakak beres-beres dulu ya, bentar lagi kita pulang. Kamu mau jalan-jalan ke mana?"
Felix melompat turun dari pangkuan Chan, bersidekap memandangi kakaknya yang membereskan meja kerjanya. "Kakak gak sayang aku lagi, ya?" rajuknya
"Kenapa kamu bisa bilang gitu?" Chan menghentikan kegiatannya, menoleh menatap adiknya lekat-lekat, sebelum kemudian segera mengalihkan pandang saat Felix memasang ekspresi sedih.
Adiknya itu benar-benar tahu kelemahannya, dia tak pernah bisa melihat Felix sedih. Dari dulu, Chan selalu bersedia melakukan apapun hanya agar adiknya bisa memasang senyuman bahagia dan tertawa lepas. "Kakak sayang kamu, Felix. Banget. Lebih dari yang kamu tau."
"Tapi perlakuan kakak kayak gini ke aku!"
"Karena ini salah!" Chan mengepalkan tangan saat Felix berjengit kaget mendengar perubahan nada suaranya. "Kamu itu adik kakak, permata berharganya kakak, kakak gak boleh ngerusak kamu."
"Siapa bilang?!" Felix membalas cepat. "Aku lebih milih rusaknya sama kakak, daripada sama yang lain. Atau kakak lebih seneng kalo aku dirusak sama orang lain? Kalau pengalaman pertamaku itu orang lain, saat bahkan objek wet dream pertamaku itu kakakku sendiri?"
"Dari situ aja hubungan kita udah salah." Chan menghela nafas, kemudian mengulurkan tangan untuk mengusak poni adiknya. "Jangan gini lagi, ya? Kakak gak tau sampai kapan kakak bisa ngontrol perlakuan kakak ke kamu kalau kamu begini terus. Kakak gak mau kelepasan, Felix."
"Aku mau pulang sendiri aja." Felix berujar cepat. Pemuda itu merapikan penampilannya sendiri yang agak berantakan, sebelum kemudian memutar tubuh dan berbalik menuju pintu keluar. "Aku gak pulang ke rumah buat malem ini kak. Nanti delivery aja ya."
"Mau ke mana kamu?" tanya Chan menyelidik.
Felix mengendikkan bahu. "Nginep di rumah Hyunjin."
Hyunjin.
Nama itu selalu membuat Chan pusing, memikirkan entah apa hubungan adiknya itu sedari dulu dengan pemuda urakan tersebut.
Felix selalu bilang mereka hanya teman dekat. Namun sejak menemukan hickey di leher adiknya hasil karya Hyunjin dulu sekali, Chan tahu mereka tidak hanya sekedar berteman.
Dan sejak saat itu, nama Hyunjin yang teruntai keluar dari mulut adiknya selalu membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Kemarahan.
Maka pemuda itu melangkah maju, menarik tangan Felix yang hendak meraih kenop pintu sebelum dengan cepat memutar kunci, mengurung mereka berdua dalam ruangan itu.
"Apa sih—?!"
Felix terdorong mundur menabrak meja kerja Chan, sementara kakaknya itu membuang jasnya ke lantai dan melonggarkan ikatan dasinya sendiri. "Kak—?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zephyr +Chanlix [ON HOLD]
Short Story(n.) a gentle, mild breeze Bagi Felix, Chan itu seperti zephyr, angin lembut yang membuai dengan kehangatannya