01. Forever Rain

10.8K 1.1K 94
                                    

EVERYTIME THE SUN COMES UP—
"If I'm sincere today, what does it matter if I regret it tomorrow?"

—EVERYTIME THE SUN COMES UP—"If I'm sincere today, what does it matter if I regret it tomorrow?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

07:02 AM
Busan, 2016

Aku mengenalnya. Namanya, Park Jimin.

Dan setiap matahari terbit, aku selalu terbangun karena kerap kali bermimpi tentang Park Jimin. Aku terbangun bukan karena bermimpi tentang Jimin yang berubah menjadi monster, hantu atau makhluk jelek lainnya yang bisa membuat aku ketakutan karena bermimpi buruk, justru ini mungkin bisa dibilang mimpi yang indah juga mungkin akan terdengar aneh jika aku ceritakan.

Di dalam mimpiku, Park Jimin menciumku di tengah hujan lalu pergi setelahnya.

Semua mimpiku terjadi di hari yang sama, waktu yang sama, bahkan sampai pakaian kami pun sama. Aku sangat mengingat detail mimpi itu, bagaimana cara Jimin menatapku, berbicara padaku, dan sampai akhirnya aku begitu merasakan lembut dari kedua belah bibirnya yang menyapu milikku. Semua terasa nyata dan konyol, karena sejatinya aku dan Jimin bahkan tidak dalam hubungan yang seperti itu. Tak lebih dari sekedar dua manusia yang hidup bertetangga.

Kami berteman, dia baik dan yang terpenting dia memiliki kekasih saat ini. Jadi, bagaimana bisa aku bermimpi tentang berciuman dengan Park Jimin, sedangkan kenyataan yang sebenarnya adalah Jimin sudah memiliki kekasih. Semesta mungkin sedang mempermainkan hatiku.

Setelah bermimpi tentang Jimin untuk kesekian kalinya, hujan turun di penghujung musim panas kali ini. Padahal pagi baru saja menyapa, tetapi langitnya terlihat begitu kelabu.

Langkah pertama yang kulakukan adalah mencuci muka dan menggosok gigi, lalu kemudian melangkahkan tungkai untuk membuka semua tirai yang tertutup di rumah ini. Namun, belum semua tirai berhasil kubuka, sepasang netra milikku melihat Park Jimin yang sedang berdiri di depan rumahku. Semua tubuhnya basah karena Jimin berdiri di tengah hujan.

Aku tahu ini bukan yang pertama kalinya aku melihat Jimin berdiri di depan rumahku setiap pagi, tetapi, aku hanya tak menyangka bahwa dia juga akan berdiri seperti pagi-pagi sebelumnya di depan rumahku. Jika biasanya aku mengabaikan Jimin yang berdiri di depan rumah setiap pagi, mungkin hari ini-hari kedua puluh tujuh aku melihatnya melakukan hal yang sama-aku akan memberikan satu hal baik untuk Jimin yang selalu datang dalam mimpiku hampir satu bulan ini lamanya.

Kedua tanganku membuka tirai lebar-lebar, lalu setelahnya aku melangkah untuk membuka pintu rumah. Setelah pintu terbuka, aku justru stagnan ketika berhadapan dengan Jimin. Biasanya tidak seperti ini, dan aku tidak pernah canggung dengannya. Ini pasti karena mimpi itu.

"Jimin?"

Suaraku terdengar, 'kan? Walaupun hujan mengguyur pagi ini, tetapi aku sangat yakin bahwa suaruku terdengar oleh Jimin, lalu apa yang membuat Jimin tetap mengabaikanku saat ini?

Jimin terlihat tetap stagnan dengan seluruh tubuh yang basah, memandangku begitu lamat dengan raut wajah yang menyedihkan. Dia ... kenapa?

Karena tidak mendapat jawaban apa-apa yang keluar dari bibir Jimin, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil payung yang selalu aku simpan di sisi rumah. Membuka payung itu dan berjalan membelah hujan untuk datang menghampiri Jimin. "Mau masuk? Aku akan membuatkanmu coklat panas."

Walaupun masih tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Jimin, tetapi setidaknya aku merasa lega saat Jimin mengikutiku dengan payung yang melindungi kami berdua dari ribuan tetes liquid yang mengalir dari utara.

.

.

.

Jimin duduk di atas kursi meja makan yang ada di dapur. Oh, walaupun aku membuat Jimin masuk ke dalam rumahku, setidaknya aku tidak bisa membiarkan dia duduk di sofa yang ada di ruangan depan-akan sangat repot untuk membersihkannya.

Dia masih bergeming setelah aku menaruh secangkir coklat panas di atas meja untuknya. Jimin benar-benar tidak mengatakan apa-apa saat ini. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan; tentang ia yang hampir sebulan ini selalu berdiri di rumahku setiap pagi harinya atau rentetan pertanyaan lainnya yang mungkin tidak akan pernah tersampaikan.

Aku memandangi Jimin yang tidak menatapku. Wajahnya tenggelam besama handuk yang menutup hampir seluruh kepalanya. Kedua tangannya bergetar karena mungkin dia kedinginan.

"Bagaimana kabar orang tuamu, Jim?" dan akhirnya hanya pembahasan basi yang keluar dari bibirku.

"Baik."

Aku mendengar suaranya yang lembut, kecil juga sangat tidak bertenaga seperti biasanya. Dan Jimin masih belum menatapku, membuatku menebak-nebak apa dan kenapa.

"Kabar Seulgi?"

Mungkin saja ia bertengkar dengan kekasihnya, 'kan?

"Tidak tahu."

Aku tidak mengerti laki-laki. Mereka mudah sekali bosan dan tidak peduli saat gadis incarannya sudah menjadi kekasihnya.

Kedua netra milik kami bersirobok saat Jimin mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat semakin menyedihkan dengan kedua netranya yang terlihat kuyu juga bibirnya begitu pucat. Ujung-ujung bibir pucat miliknya menyungging menyerupai sebuah senyuman, walaupun aku tidak yakin jika Jimin bisa tersenyum dengan perasaan yang hampir terlihat begitu resah.

Sekujur tubuh Jimin tak kunjung mengering dan tetesan air hujan yang berasal dari baju dan rambutnya masih berjatuhan seolah rinai hujan yang masih turuh di luar berpindah pada tubuhnya-sampai-sampai aku bisa meihat riak air yang terbentuk di sekitar kakinya.

"Kau tidak boleh bermain dengan perasaan wanita, Jim," Aku menjeda kalimatnya sesaat begitu melihat Jimin yang tiba-tiba berdiri dan berjalan menghampiriku. "kasihan ... pacarmu."

Aku tidak yakin Jimin mendengar lanjutan kalimatku atau tidak, karena pada saat aku ingin melanjutkannya, suaraku justru hilang tertelan presensi Jimin yang terlihat terjatuh dan bersimpuh tepat di depan tubuhku. Ketika aku ingin membantunya berdiri, sepasang tangan yang tadi terlihat begitu bergetar sudah lebih dulu melingkar di pinggangku. Jimin memelukku sambil bersimpuh dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.

Aku tidak tahu basah di sekitar bajuku itu akibat rambut Jimin yang masih basah lantaran handuknya terjatuh atau air mata Jimin yang luruh dari kedua netranya.

Hawa dingin menyapa kami berdua, tubuh Jimin bergetar juga dengan ia yang terdengar terisak sambil berkata, "Aku merindukanmu. Tolong, jangan pergi."

Detik berikutnya, kedua tangan Jimin yang melingkar terlepas dengan tubuhnya yang ikut terjatuh ke atas lantai. []

[Jangan mengharapkan yang wah dengan konflik yang matang juga mantap:( aku menulis ficlet ini hanya karena ingin mengisi waktu luang (juga nulisnya di handphone, btw:'))) dengan bahasa yang biasa saja dan cerita yang biasa saja. Semoga suka dengan yang biasa ini! 💜]

Belum revisi, maaf jika masih banyak kesalahan:)

Everytime The Sun Comes Up | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang