17. New Year, New Happiness or New Sadness?

291 21 3
                                    

Desember, bulan terindah yang tidak ingin aku lupakan. Yang ingin kuabadikan selamanya dalam otakku. Tapi aku tidak mungkin menahan waktu agar aku bisa berada dalam situasi itu selamanya. Aku harus menjelajah bulan-bulan baru, entah dengan kisah senang, sedih, atau haru. Aku harus melanjutkan hidupku, dengan atau tanpa Aditya nantinya.

"Fir, tahun baru mau kemana?"

"Belum tahu, palingan juga di rumah nonton kembang api di tv."

"Mau lihat yang langsung?" Tanyanya, berharap aku menjawab 'ya'.

"Nggak tahu, soalnya..."

"Soal ibu? Nanti aku mintain izin lagi, ya?"

Dengan ragu aku menjawab, "bukan soal ibu, ini soal aku yang sedang nggak mau keluar malem, Dit."

* * *

Semesta, terkadang aku lupa betapa jauhnya Aditya dariku. Kadang aku lupa berapa banyak luka yang ia derita tanpa aku tahu. Dan kadang, realita tampak hendak menyadarkan diriku. Menamparku sangat keras agar aku paham apa yang sedang terjadi dalam hidupku. Banyak yang terjadi pada hari-hariku akhir-akhir ini. Aku menjadi suka tidur larut, aku menjadi seseorang yang lebih banyak melamun timbang tersenyum, aku menjadi seseorang yang mudah bersedih, dan aku menjadi seseorang yang punya segudang cerita pilu.

Kini, tidak ada lagi Fira yang ceria seperti dahulu. Ia akan berubah menjadi pendiam dan mendadak pemalu saat ada atau bersama Aditya. Ia akan lebih banyak menangis entah karena apapun daripada tersenyum. Bibirnya tak henti bercerita tentang apa saja yang membuatnya terluka. Dan hatinya, masih sama. Enggan memperpanjang masalah. Ia hanya terus memaafkan, kembali disakiti, kemudian memaafkan lagi. Tetapi ia tumbuh menjadi gadis yang tegar dan ikhlas. Dengan segala luka yang ia dapat, dengan segala duri yang ia genggam, ia bangkit dan berhasil mengatasi rasa sakit itu sendiri. Ia masih mampu berdiri, dan menyunggingkan senyum—yang kami tahu itu bukanlah senyum aslinya.

Tiba-tiba aku teringat dengan kata-kata temanku. Mereka merasa ikut terluka saat aku juga terluka. Mereka sedih saat aku disakiti Aditya. Dan mereka ikut tertawa saat aku benar-benar bahagia. Aku senang sekali punya teman-teman yang baik seperti mereka. Aku bersyukur, dapat diberi perhatian lebih oleh mereka. Rasanya, hidup bersama mereka saja sudah cukup, tidak perlu lagi Aditya. Tapi, tidak buruk juga mungkin jika aku hidup berdampingan dengan Aditya. Memikirkan ini membuatku semakin gila, membuatku seperti semakin tidak punya pikiran.

Hujan di luar semakin membuat kepalaku pening. Awan hitam seperti senantiasa berhenti tepat di atas genteng rumahku, dan sepertinya ia betah di sana karena tahu ada seorang gadis yang tengah bersedih di dalam rumah itu.

Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk.

Perguruan Mantab Jiwa (5)

Ayu : oii gaess

Ayu : ini sapa ini paan yak

Fira : itu gue sama adit kemarin pas malem natal

Kinanti : demi apa?! lo ke gereja sama aditya? ngapain anjirr

Lala : nenenin adit ya

Lala : nemenin maksud gue, sorry tipo wkwk

Fira : iya nemenin dia pas malem natal di gereja.

Fira : tau nggak, masa tiba-tiba adit kemarin narik gue masuk ke dalem rumah pas gue ujan-ujan di luar.

Intan : trus gimana?

Fira : tiba-tiba dia minta ijin ke nyokap buat ngajak gue pergi ke malem natal itu

Ayu : gila, trus nyokap lu ngijinin kaga?

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang