20. Kau, aku dan rasa yang telah terikrar

191 10 0
                                    

"Pikir aja sendiri."
Akhirnya Kanaya membuka suara.

"Lagi males mikir. Makanya aku pengen tau langsung jawaban kamu."

"Emangnya masih gak ngerti ya sama omonganku waktu di rumah nenek?"

"Yang mana?" Arkan tersenyum, pura-pura lupa.

"Yang itu loh..." Kanaya berdecak.
"Masa lupa sih..."

Senyum Arkan semakin mengembang tatkala melihat gadis di sampingnya yang nampak malu-malu dan tak kunjung mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Oke. Aku inget." Berdeham, nadanya berubah, sedikit lebih serius.
"Tapi kamu cuma jawab 'mungkin' aku mau jawaban yang pasti."

"Mm... maksudku, Iya. Jawabannya, iya."

"Iya apa?" Masih dengan tingkah menyebalkannya Arkan menuntut jawaban Kanaya. wajah gadis itu semakin bersemu merah.

"Aku mau jadi pacar kamu. Puas?" Ujarnya tanpa jeda, lantas berlari meninggalkan Arkan sembari membuang muka. Benar-benar terlihat salah tingkah.

"Hey, aku gak denger!" Teriak Arkan yang langsung dibalas dengan suara bantingan pintu oleh Kanaya.
"Beib!" Tak ada jawaban.
Cowok itu tersenyum puas. Dia berhasil, berhasil mendapatkan Kanaya.

Kanaya menyandarkan punggungnya di balik pintu, napasnya memburu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Tak pernah dia sampai seperti ini ketika ditembak cowok. Dan sekarang dia bingung harus berbuat apa. Haruskah dia kembali keluar menemui Arkan yang masih duduk di sana? Tapi dia khawatir akan semakin terlihat salah tingkah.

Kanaya membuka pintu sedikit, mengintip, rupanya Arkan masih disana. Namun, tiba-tiba saja Ratna datang duduk bergabung menonton televisi.
"Teh Ratna, Kanaya sudah tidur ya?"

Ratna menengok ke pintu kamar Kanaya, kontan saja gadis itu buru-buru merapatkan pintunya. Ratna tersenyum melihat aksi Kanaya yang diam-diam mengintip.
"Gak usah malu-malu kalii... kalau masih mau berduaan sini aja!" Teriak Ratna dengan nada menyindir yang tentu saja membuat Kanaya berdecak sebal. Ratna telah memperburuk keadaan, pikirnya.

Terpaksa Kanaya melangkah keluar dari kamar. Arkan memandangnya dengan senyuman menggelikan di mata Kanaya.
"Kamu udah ngantuk?"

"Mm... gak ngantuk-ngantuk banget, kok." Jawabnya, dia duduk disamping Arkan, matanya melihat Ratna yang kini pura-pura menonton layar televisi. Padahal diam-diam dia memperhatikan mereka.

Arkan menggenggam tangan Kanaya.
"Sebentar lagi, aku masih betah disini." Lantas dikecupnya tangan lembut itu. Ratna yang melihatnya langsung mengacungkan remote ke arah mereka.
"Heh! Tangan, tangan!"

Kanaya langsung menarik tangannya dari genggaman laki-laki yang  kini berstatus sebagai pacarnya, dia merasa jantungnya terus bergetar bak genderang ditabuh.
Dia juga menatap horor pada kakaknya yang kini masih menatap mereka dengan tatapan menusuk.

"Pacaran, kita..." cetus Arkan tak merasa berdosa.
"Ah teh Ratna kayak gak tahu anak muda aja..."

"Haeesh.. pacaran jangan berlebihan!"

"Arkan cuma genggam tangannya doang, gini." Cowok tinggi itu kembali menggenggam tangan gadisnya, lantas mengecupnya. Dia menyengir menatap Kanaya yang tak dapat berkutik. Kemudian kembali menatap Ratna yang sudah berkecak pinggang. Cowok ini benar-benar tak tahu malu.

"Sudah malam, sebaiknya kamu pulang! Jam kencan sudah habis!"

"Yaah... baru juga satu jam jadian." Gerutu Arkan memasang wajah kesal.

"Besok masih ada waktu."

"Jadi besok masih boleh kesini?" Wajah yang semula kesal itu kembali sumringah.
"Oke kalau begitu." Arkan bertepuk tangan satu kali.
"Memang calon kakak ipar yang baik dan pengertian..."

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang