Aisyah Karina

14 2 4
                                    

Apa yang kau pikirkan?

Aku melihatmu di atas sebuah panggung impianku. Kau langkahkan kakimu ke atasnya ketika MC memanggil namamu, kemudian kau bungkukkan badanmu kepada para penonton yang terdiam bingung melihatmu, dari ribuan penonton itu matamu menemukanku dan kau pun tersenyum. Kau lalu duduk di tengah panggung bersama sebuah piano hitam. Kau benar-benar tidak peduli apa yang orang lain itu katakan. Gumaman penonton mulai memenuhi ruangan auditorium, mereka membicarakan dirimu. Dengan tak peduli pada apapun, kau melanjutkan menekan tuts piano itu menyentaknya hingga membuat hening seisi ruangan, aku terpana, namun hatiku teriris luka.

"Terima kasih." Hatiku bergumam dalam diam aku mulai menangis.

Ah. Aku sudah terlalu banyak bermimpi.

Aisyah Karina.

Aku selalu ingin menjadi seorang pianis terkenal, kujadikan itu sebagai impian pertamaku. Menjadi terkenal—sebagai seorang pianis, indah bukan? Orang tuaku tidak mengizinkannya mereka ingin aku untuk menjadi seorang Dokter, kau tahu? Seluruh orang pintar di Negeri ini memilih untuk menjadi seorang Dokter, mereka tidak memilih sih, tapi diharuskan. Selebihnya? Ya, menjadi pengusaha, politikus, dan sebagian lainnya masih memikirkan akan menjadi apa, pantas saja negeri ini begini. Aku? Aku bukanlah orang yang bisa melakukan segalanya, keterbatasanku adalah aku yang tidak bisa berbaur dengan orang lain. Mereka terlalu pintar. Aku bukan orang yang seperti mereka.

"Kau pikir dengan duduk termenung kau akan menjadi pianis terkenal seperti mimpimu?" Ejek mereka. "Hush. Paling dia akan membayar mereka untuk menjadi terkenal."

Aku hanya diam mengabaikan mereka sambil memperhatikan layar handphoneku. Yang kuperhatikan adalah sekumpulan not musik. Sejujurnya aku buta nada, aku bahkan tidak bisa membaca not-not balok yang terpampang di layar handphoneku. Aku hanya ingin memainkannya, secara free—bebas. Bermain secara bebas pasti menyenangkan, hanya menggerakkan tanganmu di atas tuts-tuts piano itu dan memberikannya sedikit melodi.

"Kami menunggu hasil termenungmu, Aisya!" Ejek mereka lagi.

Aku tersenyum kepada mereka, kemudian bangkit dari dudukku dan mulai berjalan keluar dari kelas. Satu persatu manusia yang berada di sana juga ikut keluar dari kelas yang sudah berakhir setengah jam yang lalu.

"Sampai jumpa besok." Ucapku pada mereka.

Aku berjalan gontai ke halaman sekolah, sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti tepat di depanku. Seseorang keluar dari mobil itu, membukakan pintu mobilnya kemudian berkata. "Saatnya pulang nona."

"Ya." Kulangkahkan kakiku memasuki mobil itu mengabaikan banyak pasang mata yang menatapku.

ooo

Aku sudah di rumah dua jam yang lalu. Setelah mengganti seragam sekolah dengan pakaian yang biasa kupakai di rumah, aku mencoba untuk bermain piano tua peninggalan ibu yang berada di ruang tamu sebelum seorang wanita paruh baya datang dan mengganggu permainanku.

"Aisya, kau tidak belajar?" tanya wanita itu padaku, dia mendekat ke arahku. Memegang kedua tanganku dan menjauhkannya dari piano itu.

Aku menganggukkan kepalaku. "Aku akan segera belajar, Ibu."

"Bagus. Aku ingin melihat nilai akhirmu yang sempurna itu, Aisya."

Aku tersenyum. "Akan aku usahakan menjadi seperti yang Ibu inginkan."

Aku meninggalkan ruang tamu dan segera naik ke atas menuju kamarku yang berada di lantai atas. Para pelayan itu menyambutku, memberikan buku-buku yang diberikan ibu padaku dan harus kupelajari sebelum aku memasuki akhir semester, kemudian pelayan itu memberikanku secangkir susu yang menemani belajarku.

Aisyah KarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang