11. Renjana Berdarah

974 52 6
                                    

Pagi pertama sasi kelima mongso ketigo. Mayapada semakin gersang karena tak tersentuh hujan. Angin pun berhembus membawa panasnya cuaca hingga tak mampu lagi menyegarkan badan. Pagi itu pula sinar kehidupan semakin kentara di Padepokan Jagadita.

Setelah peristiwa berdarah itu terjadi, para cantrik penghuni padepokan semakin berlarut-larut dalam kesedihan. Tak terkecuali Umbara. Ia masih ingat ucapan terakhir Mandaka sebelum putra Ki Wursita itu meregang nyawa bersama sang kekasih. Ya, ucapan yang sampai saat ini masih terngiang di telinganya.

"Jangan menyalahkan aku! Tapi salahkan dirimu sendiri! Kalau bukan karenamu perpecahan ini takkan pernah terjadi!"

Berhari-hari Umbara mencoba melupakan kejadian itu, namun semuanya sia-sia. Bayangan dendam Mandaka seakan mengejarnya. Oleh karena itu, Umbara bersemedi dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta, di tempat di mana Ki Wursita mengajarinya Aji Wiraga Seta.

Kepulangan Umbara pun disambut baik oleh para cantrik juga Surasena. Kini Padepokan Jagadita tak lagi bagai anak ayam kehilangan induk. Mereka kembali membangun padepokan itu. Bahkan cantrik-cantriknya pun bertambah banyak.

Pagi ini, semua penghuni padepokan bergotong royong membersihkan bangunan kayu itu. Mereka semua bekerja sama. Memangkas rumput, menanami jambangan dengan bunga, mengganti atap ataupun pilar bangunan yang rusak, dan mendirikan papan nama padepokan di atas gerbang masuk. Di serambi bangunan utama, seorang pria mengawasi pekerjaan para cantrik. Dan tak lama, datang seorang pemuda tampan yang tampak kelelahan. Pemuda itu tadi membantu para cantrik mendirikan papan nama padepokan.

"Minumlah, Umbara," ujar pria itu sambil menyerahkan secangkir minuman.

"Terima kasih, Kakang."

"Akhirnya kau bisa memegang kembali tanggung jawabmu sebagai pemimpin padepokan ini," ucap pria yang tak lain adalah Surasena.

"Awalnya, saya tidak mampu untuk melupakan semuanya. Saya merasa bahwa sayalah yang menjadi biang dari permasalahan Kakang Mandaka dengan Ki Wursita."

"Aku bisa mengerti. Tapi kau harus melupakannya. Tutup kenangan lama dan buka lembaran baru dalam hidupmu." Pria itu meletakkan gelas bambu ke atas meja kecil. "Memang awalnya sangat sulit, apalagi yang dilupakan adalah seseorang yang begitu kita cintai," lanjutnya. Raut wajah Surasena terlihat muram dan sedikit tertunduk. Umbara merasa tidak enak. Pasti Surasena kembali teringat dengan masa lalunya yang cukup kelam.

"Maaf, kalau akhirnya malah membuat Kakang jadi membuka masa lalu."

"Masa laluku? Maksudmu kisah cintaku dengan Irawati?" Surasena tampak tersenyum mencibir. "Aku tidak pernah menganggap wanita itu sebagai bagian hidupku!" Pria itu mengawali dengan raut wajah jengkel.

"Sepertinya Kakang sangat membenci wanita bernama Irawati itu. Setahu saya Kakang tidak pernah mendendam pada orang lain."

Sambil menghembuskan napas, Surasena bangkit dari duduknya dan membelakangi Umbara.

"Aku tidak benci padanya. Hanya merasa sangat kecewa. Kukira, cinta Irawati hanya untukku. Ternyata di hatinya masih ada ruang bagi pria lain meskipun kami telah terikat perkawinan. Dan pria itu adalah bekas kekasihnya yang sudah menjadi saudagar kaya. Irawati mengkhianatiku karena aku hanya seorang petani biasa. Dia sudah menyakitkan hatiku, buat apa menangisinya?" Surasena tersenyum dan kembali duduk di depan Umbara. "Wanita selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Dan sumber dari semua itu adalah harta," kata Surasena lagi.

"Ah, saya kurang yakin dengan hal itu," desah Umbara.

"Memang. Tapi itulah kenyataannya. Contohnya saja aku dan pemuda miskin lain yang hanya memiliki cinta. Tidak ada satu gadis pun yang mau melirik. Bedakan dengan seorang putra lurah atau putra seorang saudagar kaya. Tanpa diminta, para gadis akan berdatangan dengan sendirinya. Jangankan dengan putranya, mengawini boponya saja mereka bersedia!"

Renjana BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang