Chapter 26

1.2K 130 45
                                    

.

.

.

Sore itu suasana mendung dan angin berhembus cukup kencang. Lelaki 24 tahun itu mengeratkan mantel coklat tebal yang melekat di tubuhnya, sesekali menggosokkan kedua tangan guna menciptakan kehangatan. Kalender bahkan baru menunjukkan tanggal 1 Desember, musim dingin yang sebenarnya bahkan belum dimulai, tapi entah kenapa dinginnya sudah menusuk seperti ini.

Jepang jauh lebih dingin dari Korea, itu menurut Jeno -lelaki bermantel coklat tadi-. Ini musim dingin ke-6 yang ia lalui di Jepang, setidaknya sudah selama itu dia disini. Ia bahkan masih ingat musim dingin pertamanya disini, dimana ia terbangun dari ranjang berwarna putih dan bau khas yang menusuk hidung.

Dan saat itu ia hanya remaja yang tengah kebingungan karena tidak menemukan sosok ibunya maupun saudara-saudaranya ketika ia membuka mata. Hanya Jungsoo samchon, Sora Imo dan neneknya yang berada di sekitarnya.

Ah, dan Yuta.

Ia juga masih ingat ketika ia berusaha mengumpulkan segala kekuatan dan keberanian untuk bertanya, akhirnya mendapat jawaban yang membuat hatinya terasa begitu hancur. Kenyataan bahwa ia telah terpisah dari ibu dan saudara-saudaranya sungguh memukulnya dengan begitu keras.

Jeno muda menangis, meraung dan meminta kembali, namun semua sia-sia. Neneknya bilang ia harus melupakan Korea, melupakan keluarga lamanya, karena mereka lah keluarga Jeno sebenarnya. Dan saat itu juga, Jeno membenci neneknya. Bukan membenci sebenarnya, lebih pada sebuah rasa kecewa yang teramat sangat.

Jika neneknya sudah tak lagi bisa diharapkan, hanya Jungsoo dan Sora yang tersisa. Namun sial, kedua orang itu hanya mampu menggeleng.

Tinggal disini dan melanjutkan pengobatan adalah pilihan yang tepat, itu kata mereka. Jeno menolak tentu saja, rasanya percuma jika ia sembuh tapi tak lagi mampu bersama keluarga keduanya. Namun orang-orang itu luar bisa, mereka membujuk remaja labil macam Jeno dengan membuat sebuah janji. Mereka berjanji akan membawa Jeno pulang ke Korea jika saja Jeno mau menjalani segala pengobatan yang ada hingga dinyatakan sembuh.

Dan dengan senang hati Jeno menyanggupinya.

Setiap hari harus menelan banyak pil, berkali-kali ditusuk jarum, pemeriksaan tanpa henti bahkan kemoterapi yang menyiksa pun Jeno jalani. Melelahkan memang, dan kondisi yang terkadang menurun membuat Jeno ingin berhenti dan menyerah. Namun ketika kembali teringat janji nenek, Jeno merubah hatinya. Ia harus sembuh jika ingin pulang. Dan berhasil, dokter menyatakan ia sembuh setelah hampir satu tahun menjalani berbagai macam pengobatan.

Dirinya sembuh, namun janji yang neneknya buat sama sekali belum terbayar. Jika saja Jeno anak yang tak tahu terimakasih, ia pasti akan menuntut agar janji itu ditepati. Namun jasa besar neneknya sungguh membuat hatinya begitu berat menagih janji tersebut, hingga pada akhirnya ia harus memilih mengubur janji tersebut dalam-dalam. Ia hilang kontak dengan mereka, ia tak tahu seperti apa mereka sekarang, seperti apa keadaan mereka.

Apakah mereka sehat?

Apakah mereka bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang selalu Jeno pendam selama enam tahun ini.

Jeno merindukan rumah, dan penghuninya. Jeno merindukan pelukan ibu yang begitu hangat dan menenangkan. Jeno merindukan Mark hyung yang begitu dewasa. Merindukan Jaemin yang cerewet dan Haechan yang usil. Merindukan Renjun yang begitu tenang juga gambarannya. Dan tentu saja Jeno merindukan Chenle dan Jisung, duo yang tak terpisahkan. Apakah mereka masih manja, apakah mereka tetap berisik, apakah mereka masih sering menjahili Haechan, Jeno sungguh ingin mengetahuinya.

Setiap hari Jeno menunggu dan berharap waktu akan berbaik hati membawanya kembali pada keluarga keduanya. Hatinya begitu sesak akan rasa rindu, setiap hari semakin menumpuk hingga rasanya akan meledakkan dada.

Jeno telah mencapai batasnya. Dan setelah mengumpulkan segala keberanian dan membulatkan tekadnya, disinilah Jeno sekarang. Berdiri mematung di depan pintu ruang kerja neneknya.

"Jeno-ssi"

Jeno menoleh ketika suara laki-laki itu menghampiri telinganya.

Ah, ia lupa jika ia tidak sendirian datang kemari.

Ia bersama pengawal pribadi sekaligus sahabatnya, Nakamoto Yuta. Lelaki itu memang lebih tua 5 tahun darinya, dan Jeno sudah menganggap lelaki itu seperti kakak dan sahabatnya. Lelaki itu selalu menemani Jeno kemanapun, mendengarkan segala keluh kesah Jeno dan selalu bisa membuat Jeno merasa tenang dengan kehadirannya di sekitar Jeno.

"Kenapa tidak menegetuk pintu?" lelaki itu menegur Jeno, dalam bahasa Korea. Ah, Yuta memang orang Jepang asli, tapi ayahnya sudah bekerja pada neneknya hampir setengah hidupnya. Jadi kemungkinan besar ia belajar bahasa Korea dari sang ayah.

Jeno menatap Yuta ragu.

"Hyung.. aku takut" Jeno menundukkan kepalanya.

Yuta tersenyum lembut, tangan kokohnya menyentuh punggung rapuh bocah yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu. Bukan bocah sebenarnya, mengingat Jeno sudah berumur 24 tahun. Tapi Jeno masih sama seperti 6 tahun yang lalu, bocah yang ia temui bahkan ketika masih dalam keadaan berbaring tak berdaya.

Jika saja ayahnya tidak bekerja di perusahaan cabang milik keluarga Park, ia mungkin tidak akan dipercaya oleh Nyonya Park untuk menjadi pengawal sekaligus sahabat Jeno. Mengingat dulu kemampuan judonya sama sekali belum matang.

Nyonya Park mempercayakan Jeno pada Yuta, meminta Yuta menemani Jeno ketika beliau sibuk, agar setidaknya Jeno tidak sendirian ketika membuka mata nanti. Beliau menceritakan banyak hal tentang Jeno termasuk hatinya yang bak malaikat, dan hal itulah yang membuat rasa sayang Yuta pada Jeno mulai tumbuh. Ia menyayangi Jeno seperti adiknya sendiri.

"Bukankah anda sudah memikirkan ini sejak 2 minggu yang lalu?" tanya Yuta mengingatkan.

Jeno mengangguk ragu.

"Anda sudah berusaha keras mengumpulkan untuk keberanian, bukankah akan sia-sia jika anda kembali bersembunyi dibalik ketakutan anda?" kalimat Yuta selalu saja berhasil membuat perasaan Jeno membaik.

Jeno mengangkat kepalanya, menatap Yuta sejenak sebelum kemudian mengangguk sambil tersenyum.

"Kau benar, hyung. Aku sungguh akan menjadi pengecut jika tidak mengatakannya sekarang"

Yuta tersenyum.

Lega rasanya mendengar jawaban Jeno.

Tangan yang tadi hanya terdiam, kini mulai mengetuk pintu yang tadi hanya ditatapnya. Setelah sebuah suara memepersilahkannya masuk, ia mulai memutar kenop pintu dan membukanya.

"Terimakasih, Yuta hyung. Tolong, berhenti memanggilku Jeno-ssi dan berbicara formal padaku. Itu membuatku membuatku merasa tua" itu kalimat peringatan Jeno sebelum lelaki itu menghilang dibalik pintu.

Sedangkan Yuta hanya terkekeh, mengangguk sebentar dan tersenyum.

.

.

.

TBC~~

Halooooooo~~
Masih inget sama cerita ini ga? Masih ada yg nungguin ga ya?

Kalau lupa juga gapapa kok soalnya emang udah selama itu aku ga up lagi huhuhu
Boleh dibaca lagi dari awal kalau kalian lupa hehe

Jangan lupa voment yaaa~~ :3

Thankyou~

WARM HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang