Tami menuntun Razi untuk duduk di gazebo berkanopi yang berada tidak jauh dari tepi danau. Dia melap keringat di dahi suaminya sambil memaksa Razi untuk minum air putih yang tadi sempat dia beli. Wajah pucat Razi sedikit demi sedikit mulai memerah,
"Udah enakan?" Tami memegang tangan Razi,
"Lumayan." Razi mengangguk, walaupun konser metal di dadanya masih belum begitu reda,
"Sekarang udah bisa cerita ke aku kamu kenapa?" Tami menatap prihatin suaminya, dia menarik Razi supaya bisa bersandar di pahanya. Razi merasakan ketenangan berlebih dari usapan Tami di kepala. Detak jantungnya berangsur tenang, dia meletakkan tangan Tami di dadanya,
"Kalau jelasinnya di hotel, boleh gak?" Razi memelas. Tami mengangguk cepat,
"Pulang aja yuk, supaya kamu bisa istirahat."Mereka berdua berjalan ke tempat parkir. Tami menawarkan diri untuk
mengemudi karena khawatir Razi kelelahan. Tapi Razi langsung menolak, dalam situasi apapun, dia yang harus melindungi istrinya. Untung saja jalanan tidak begitu macet seperti ketika berangkat. Dalam kecepatan sedang mereka sudah tiba kembali di hotel dalam kurun waktu kurang dari dua puluh menit.
Begitu sampai di kamar, Razi mengambil botol kecil dari dasar koper dan meminum isinya. Dia lalu berbaring di kasur, Tami duduk di sebelahnya sambil memperhatikan Razi yang sedang memejamkan mata, tapi tak lama kemudian Razi sudah mulai mendengkur tenang. Tami lalu mengganti bajunya dan menyalakan AC, dia mengambil botol yang tadi Razi keluarkan dari koper, ada tulisan Lorazepam di stikernya. Tami penasaran, dia beranjak ke balkon untuk menghubungi ibunya dan
menanyakan tentang obat itu,"Itu obat pereda rasa panik Neng" Kata ibunya di telepon, "Biasa dikonsumsi buat mereka yang kena serangan rasa panik secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Eh, kenapa nanya soal itu?"
Tami menjelaskan tentang Razi yang tiba-tiba seperti kebingungan sendiri.
"Subhanallah," Seru ibunya, "Razi pasti pernah ngalamin trauma berat nyampe kayak gitu, kasian menantu ibu." Bu Rahmi berpesan kepada Tami untuk tidak memaksa Razi menceritakan apa yang dia rasakan. Dia juga berpesan agar Tami cukup menjadi istri yang siap memenuhi segala kebutuhan suami, walaupun dia tau Tami akan sangat penasaran apa yang menyebabkan suaminya harus mengkonsumsi Lorazepam.
Setelah berbicara di telepon selama setengah jam. Tami kembali menghampiri Razi yang masih tertidur. Sekarang dia baru menyadari ada gurat kelelahan di wajah Razi yang sekarang tidur menyamping. Tami
berbaring di sisi suaminya, tiba-tiba Razi memeluk dirinya erat sekali, badannya gemetar sambil mengigau lirih,"Jangan... udah... ampun... capek.."
"Sshh istighfar sayang.. aku disini, aku disini." Tami balas mendekap suaminya, tak berapa lama dia pun ikut tertidur di bawah lengan Razi yang agak berotot.
*******
"Mau makan gak?" Tami melipat sajadahnya setelah shalat ashar dijama dhuhur diimami Razi. Suaminya itu sudah terlihat jauh lebih segar setelah tidur beberapa jam,
"Makan yang tadi pagi dulu ya." Razi mengeluarkan bungkusan belanja dari tas punggungnya yang tidak tersentuh kecuali air putih yang tadi dia minum di Silveryard. Mereka berdua duduk di balkon sembari menghabiskan jajanan dari Sevel, sesekali Tami menyuapi Razi yang terkesan kelaparan, dia baru menghabiskan satu onigiri, sementara suaminya sudah membuka bungkusan nasi goreng kedua. Razi mulai bercerita setelah semua makanan habis dan mereka kembali ke kamar untuk
menikmati senja dari ranjang."Sebenernya aku pengidap PD." Razi tiba-tiba berbicara,
"Panic disorder?" Tanya Tami,
"Iya," Razi beringsut mendekati Tami yang sedang bersandar pada sandaran kasur,
"Maaf sayang, aku tadi nanya Ibu soal obat yang kamu minum." Tami memegang tangan Razi, "Ibu bilang itu obat buat mereka yang sering kena serangan panik, plis jangan marah yaa, maafin aku lancang." Tetapi Razi malah tersenyum senang,
"Kok malah senyum?" Tami keheranan,
"Nggak apa-apa, baru kali ini ada orang yang kepo soal diri aku malah minta maaf, kamu emang beneran istri shalehah." Razi mencium punggung tangan istrinya lembut, membuat hidung Tami kembang kempis,
"Sayang, jujur aku pingin kamu cerita tentang masa lalu kamu yang bikin kamu jadi begini. Tapi aku gak mau kamu tertekan, yang penting, i'm always beside you"