RAYA
Gue jelas nggak siap untuk berita besar yang kata Jev bakal dia kasih tau ke gue. Bener-
bener nggak siap, karena bahkan dugaan aja udah bikin gue ngerasa kosong, seolah ada yang
menggerus jauh di dalam sana, bikin gue bolong di tengah-tengah. Goblok banget gue udah bilang
iya-iya aja pas dia nelpon gue kemaren, ditambah lagi pake ketawa-ketiwi dikit seakan nggak terjadi
apa-apa. Seperti hidup gue baik-baik aja, padahal kenyataannya nggak begitu. Salah satu alasan
mengapa gue mutusin buat melupakan sejenak urusan kerjaan yang bikin pening kepala dan cabut
ke rumah orang tua gue adalah karena serangkaian kejadian nggak enak yang baru aja gue alamin.
Gue putus sama Kenzo.
Iya, putus. Semuanya berlangsung begitu mudah, segampang nelen air putih. Sesuatu yang
bahkan entah kenapa nggak gue sadari sepenuhnya karena terlalu mudah, bikin semuanya jadi
kerasa kayak mimpi yang nggak nyata. Gue pikir gue bakal ngerasa sakit, kemudian hari-hari gue
bakal penuh sama segala macem pikiran yang bikin sakit dan air mata yang nggak berenti kayak pas
pertama kali gue menyadari gimana dengan pelan-pelannya Jev menghilang dari hidup gue, entah
karena dia yang memang punya keinginan untuk pergi, atau gue yang mendorong dia untuk
sepenuhnya lenyap tanpa jejak. Tapi ternyata nggak. Gue baik-baik aja. Gue masih bisa melihat
matahari terbenam tanpa ngerasa sedih, nonton film komedi romantis di bioskop tanpa ngerasa
kesepian, atau ngeliat rekan sekerja yang dijemput sama tunangannya tanpa rasa iri sedikitpun.
Hidup gue baik-baik aja, kerasa normal. Tanpa adanya Jev, Hana, atau bahkan Faris dan Adrian di
dalamnya. Mereka menghilang begitu aja, seolah mereka nggak pernah ada dalam hidup gue
sebelumnya.
Gue baik-baik aja.
Tapi gue ngerasa hampa. Rasanya kayak gue bukan lagi manusia, tapi cuman robot. Robot
yang tiap harinya diprogram untuk bangun jam lima pagi, lantas mengurung diri di bawah kucuran
air hangat shower, mengenakan blazer untuk selanjutnya bergelut dengan kemacetan ibukota
menuju tempat kerja. Nothing interesting. Semuanya sedatar permukaan teflon. Nggak ada gejolak,
nggak ada rasa bahagia, atau rasa sedih yang berlebihan. Semuanya sederhana. Bahkan ketika Kenzo
memutuskan untuk melepaskan gue karena dia pikir selamanya gue nggak akan pernah bisa
sepenuhnya jadi milik dia, nggak ada secuilpun rasa sedih. Nggak ada air mata. Semuanya terlihat
artifisial. Palsu. Kayak gue udah nggak punya perasaan.
Dan gue mulai berpikir kalau mungkin hati gue udah beneran mati.Enam bulan tanpa Kenzo gue laluin dengan biasa aja. Satu dua rekan sekerja, beberapa
orang dari departemen lain, pengusaha necis dengan dasi dan jas yang licin, sampai beberapa arsitek
dan kontraktor yang gue kenal karena lingkungan pekerjaan gue yang emang nggak bakal jauh-jauh
dari segala hal mengenai pembangunan datang silih berganti. Kebanyakan cuman jadi temen jalan.
Cuman jadi penghibur sebentar ketika gue kesepian. Kita nggak pernah pergi lebih jauh daripada
pergi ke Foundry begitu jam kerja selesai, lantas balik ke apartemen dalam keadaan setengah sadar,
entah karena alkohol, atau emang gue udah terlampau lelah sama keadaan. Tapi kalau lo
membayangkan gue melakukan sesuatu seperti free sex atau bahkan one night stand, well, lo salah.
Sebesar apapun keinginan gue untuk bener-bener get lost, menjalani hidup dengan bebas tanpa
mempedulikan norma, moral dan agama, selalu ada sebaris petuah yang entah mengapa sama sekali
nggak bisa terlupakan, sekeras apapun gue mencoba.
You're precious. Too precious to be broken.
Dengerin gue, Raya. Jangan pernah biarin laki-laki manapun ngerusak lo. Karena lo tau, lo
nggak pantes dirusak. Lo beda sama cewek-cewek itu. Lo cewek baik. Lo bukan cewek liar. Lo cewek
manis gue, dengan aroma kayak bayi. Selamanya lo bakal selalu dan harus selalu seperti itu.
Jaga diri baik-baik.
Nggak semua orang itu baik. Jangan gampang percaya sama orang.
Gimanapun, lo itu cewek. Gue cowok. Asal lo tau, cowok dilahirkan buat ngelindungin
cewek. Terutama cewek yang dia sayang.
Gue sayang lo. Gue janji bakal selalu ada buat lo. Sampai kapanpun.
Ralat.
Gue mungkin ngerasa baik-baik aja. Tapi sebenernya, gue nggak pernah ngerasa bener-
bener baik-baik aja. Gue mungkin terlihat datar, terlihat flat dalam keseharian. Persis robot yang
cuman punya sirkuit dan rangkaian kabel listrik rumit tanpa hati apalagi jiwa. Tapi ada kalanya ketika
gue balik ke apartemen gue, dengan badan yang capek dan keheningan yang menyiksa, menyekap
hingga sesak, lantas ingatan gue bakal mulai membongkar satu persatu kenangan yang tersimpan,
sekalipun gue lagi nggak pengen mengingatnya.
Kenangan selalu membuat seseorang lemah.
Kenangan itu sesuatu yang bikin sakit. Kenapa? Karena gimanapun juga, kenangan nggak
akan pernah berubah. Berbeda dengan keadaan yang nggak pernah stagnan. Dan kita, manusia,
selalu takut menghadapi perubahan. Selalu khawatir akan ketidakpastian. Padahal, apa yang pasti
dalam hidup selain ketidakpastian itu sendiri? Nggak ada. Semuanya omong kosong.
Setiap kali mengingat dia, bantal gue basah.
Lalu perlahan gue mulai beradaptasi. Gue nggak bisa terus-menerus duduk di pojok,
memeluk lutut lantas meneteskan air mata untuk dia yang bahkan nggak ada lagi dalam hidup gue.
Gue mencoba untuk menenggelamkan diri gue dalam urusan kerjaan, apapun itu yang bikin gue bisa
melupakan keadaan yang berubah begitu cepat. Gue mencoba menekankan bahwa dalam hidup itu,nggak ada yang selamanya. Gue terlahir sendirian, dan harus terbiasa dengan kesendirian. Ada
kalanya itu berhasil. Ada kalanya enggak. Dan ketika itu nggak berhasil, gue bener-bener terkurung
diantara ruang kangen gue sendiri. Kangen sama Hana. Sama Faris. Adrian. Rama. Edgar. Bahkan
mungkin Dio yang lebih banyak diem. Dan tentu aja... kangen sama dia.
Kangen sama Jeviar Mahardika.
Jeviar Mahardika.
Siapa dia?
Lalu otak gue akan mulai memuntahkan banyak jawaban kayak banjir di musim hujan. Dia
adalah seniman pertama yang gue kenal. Orang pertama yang membuat gambar sketsa secara
pribadi untuk gue-gambar yang hingga sekarang bagi gue adalah gambar paling indah yang pernah
gue terima. Dia adalah sohib gue, tameng yang akan melindungi gue dari apapun. Orang yang bakal
selalu pasang badan buat menghindarkan gue dari rasa sakit. Orang paling males yang pernah gue
kenal, sampe-sampe dia ngabisin waktunya tidur-tiduran di bawah pohon belakang sekolah
beberapa minggu menjelang Ujian Nasional. Satu-satunya perokok brengsek yang nggak bisa gue
benci. Tukang tawuran yang hobi bawa rantai sepeda motor di dalam tas sekolahnya tiap hari.
Cowok yang seragamnya nggak pernah rapi. Cowok yang punya obsesi aneh buat science fiction dan
Star Wars. Cowok yang setia jadi samsak tinju gue tiap PMS. Cowok yang mengenal gue jauh lebih
baik ketimbang gue sendiri. Cowok yang selalu berjanji bahwa kita bakal bareng-bareng selamanya.
Cowok yang gue tau nggak akan pernah menyakiti gue sampai kapanpun.
Cowok yang sekarang udah nggak ada lagi dalam hidup gue.
Gue mencoba menerima itu.
Tapi sialnya dia. Saat gue mulai terbiasa dengan keadaan, dengan semua kesendirian dan
sepi yang ada, dia tiba-tiba muncul lagi. Dengan suara tawa yang masih sama yang bikin gue sadar
kalau selama ini gue bener-bener kangen dia. Kangen banget, sampai ngedenger suaranya aja bikin
gue pengen nangis. Makin pengen nangis waktu sadar apa yang mungkin akan menjadi ujung dari
kita berdua.
Bahwa dia nggak akan pernah menjadi milik gue sampai kapanpun.
Gue benci berpikir pake perasaan, tapi sumpah, bener-bener nggak bisa. Mau dibilang
kayak gimanapun, rasanya sakit banget. Terlalu sakit, bikin gue pengen goblok kalo nggak lupa
ingatan aja sekalian. Tapi tololnya gue, gue bukannya langsung nutup telepon dan nolak ketemu, gue
justru cuman ketawa kayak orang gila sambil nge-iya-in saat dia bilang dia mau dateng ke rumah gue
untuk mengabarkan apapun itu yang menurut dia membahagiakan-sebuah hari besar yang konon
pantang buat gue lewatkan.
Jeviar emang brengsek.
Dia nggak bosen apa nyiksa gue terus-terusan?
Tapi gue udah terlanjur bilang iya, dan hari ini adalah hari dimana dia bakal dateng ke
rumah. Bahkan sejak buka mata di pagi haripun gue udah stress. Bolak-balik ke kamar mandi cumanbuat ngecek penampilan di kaca, yang lantas bikin gue sadar kalau gue terlihat pucat banget. Pzucat
kayak orang sakit, hingga polesan peach lipstick pun nggak bisa membantu. Resah seharian, akhirnya
gue ngambil keputusan impulsif untuk cabut gitu aja dari rumah saat sore menjelang, dengan cuman
berbekal training panjang dan kaos putih bergambar Mickey Mouse. Anak kecil banget, tinggal
tambahin poni dan tas dora, orang-orang nggak akan ngira kalau gue adalah pegawai institusi
kepemerintahan.
Gue berjalan tanpa arah, tenggelam dalam pikiran gue sendiri, sampai kemudian gue sadar
kemana kaki gue membawa gue. Perut gue terasa mual begitu sadar gue ada di seruas jalan kecil
yang tentu aja bukan jalan biasa. Jalan itu adalah jalan kenangan. Jev biasa nyebut tuh jalan dengan
sebutan Jalan Raya, diambil dari nama gue. Jalan itu adalah jalan deket sekolah SD kita, yang
sekarang pun masih dipenuhi semak belukar dan pohon bambu di tepiannya. Tipikal jalan yang sepi
saat siang dan menyeramkan ketika malam. Dulu, waktu pulang-pergi sekolah, kita selalu lewat jalan
ini. Gue masih inget gimana kita mendiskusikan bekal sambil berjalan, dengan tangan saling
tergandeng. Samar, ingatan akan semua percakapan anak kecil yang absurd itu kembali terngiang di
telinga gue, bikin pandangan mata gue berkabut sejenak karena air mata yang ditahan.
Gue nggak tau diri.
Gue nggak seharusnya berharap.
Siapalah gue selain sebagai kepingan kecil dari masa lalu yang bahkan nggak sepenuhnya
indah? Terlalu banyak rasa sakit selama kita saling kenal, dan Jev, di luar semua kebrengsekannya
yang bikin gue makin sayang, adalah orang yang nggak pantes tersakiti cuman karena seorang Raya
Alviena. Lagipula, hey, gue nggak seharusnya sedih kan? Bukannya daridulu gue selalu berharap akan
ada seseorang yang bisa dia cintai tanpa rasa sakit? Sekarang dia udah punya orang itu. Dan gue
nggak seharusnya jadi baperan kayak gini.
Tapi lantas langkah kaki gue terhenti begitu aja, dengan tiba-tiba. Saat jari-jari gue
menyentuh pelan batang belukar yang mungkin bakal bikin kulit gue gatel semaleman, ingetan itu
mau nggak mau kembali terputar. Sebuah percakapan usang ketika kita masih SMP. Percakapan
abege yang baru aja mengalami fase awal pubertas, saat hormon sedang meledak-ledak.
"Seandainya nanti lo nikah duluan," gue masih inget gue bilang gitu sambil iseng ngegunting
asal kertas krep warna-warni di tangan gue. Waktu itu angkatan kita mau ngegelar pensi tahunan di
sekolahan, dan gue bareng Jev kebagian ngurusin dekorasi. "gue bakal buka semua aib lo di depan
isteri lo."
"Hm? The same goes with me."
"Gue nggak yakin gue bakal kawin."
"Yakin?"
"Ck. Look at me, Jev. Maksud gue, siapa yang mau sama nerd kayak gue? Ngebosenin. Anak-
anak malah bilang gue serem karena gue lebih milih pacaran ama buku."