[2] - Kekalahan

1.2K 322 350
                                    

Katanya, kelas unggulan identik dengan murid teladan.

Ruang kelas yang nyaman, lingkungan belajar yang kondusif dan kualitas siswa yang tinggi akan menghasilkan murid yang berprestasi. Mulanya Amia percaya, sebab ia juga termasuk dalam daftar nama penghuni kelas dengan predikat A. Di sepenjuru SMA Galaksi, XII A adalah kelas terbaik dengan nilai rata-rata ulangan tertinggi. Namun, lambat laun Amia mulai meragukan penilaian sekolah terhadap kelasnya.

Satu kata yang dapat menggambarkan suasana kelas XII A; kacau.

"Anjir, lu berangkat sekolah enggak sikat gigi. Jauh-jauh lo dari gue, mulut lo bau bangke!"

"Kaki lo, noh, bau sampah. Udah enggak pakai kaos kaki, kudisan lagi!"

"Seriously? Baru hari pertama sekolah pulpen gue udah dimaling lagi!"

Keributan itu berasal dari pojok kelas, kumpulan anak laki-laki. Amia melenggang angkuh, duduk di kursi barisan terdepan dan memilih tak peduli. Hari pertama sekolah setelah tiga minggu libur kenaikan kelas, ruangan yang dihuni lebih dari dua puluh murid itu masih seberisik seperti sebelumnya.

"Attention, please!" Devandra Senna—–ketua kelas selama dua tahun berturut-turut sekaligus ketua OSIS yang akan lengser dari jabatannya—––menepuk papan tulis sambil mengeraskan suara. "Guys, gue punya pengumuman penting!"

"Penting mana dari tugas memberantas korupsi?"

"Apaan, tuh, Sen? Lo mau mencalonkan diri dan menjabat lagi?"

"Cari perhatian aja lu, Sen. Mau nyaleg, ya?"

Celetukan-celetukan teman sekelasnya membuat Senna menghela napas, mencoba tak terbawa emosi. "Gue serius, tolong perhatiin baik-baik."

"Idih, apa banget minta diperhatiin segala? Pacar aja bukan!"

"Kasih aku uang, aku kasih kamu perhatian. Kiw, kiw, cukurukuk!"

"Diem, Sat, sebelum gue rontokin gigi-gigi lu pada!" Suara itu berasal dari Sambara Adhitama, cowok berambut mullet dengan warna merah menyala. Amia bahkan tak habis pikir cowok paling bermasalah berada di kelas mereka. Benarkah ini kelas unggulan?

"Sambara, kenapa rambut lo warna merah?" Senna mendelikkan mata, memandang tak percaya. "Liburan sekolah lo jadi bang jago atau main silap mata?!"

"Banyak tanya lo, Sen, udah kayak si monyet temennya Dora!"

Senna mengelus dada, berusaha bersabar. "Gue saranin kalian semua dengerin kata-kata gue, sebelum lo pada menyesal!"

"Bodo amat, Senna!" sahut seseorang dari kerumunan di pojok kelas. Kali ini Amia menoleh, menemukan Alvaro Alvarendra. Ternyata cowok itu sedari tadi di sana, memimpin keributan bersama teman-temannya.

"Lo si peringkat pertama, mah, masih bisa santai aja. Ini ibu Riska bentar lagi masuk langsung ngadain kuis pagi!"

Hela napas terkesiap serentak terdengar, disusul seruan-seruan protes yang semakin memanaskan keributan. Dari pada kelas unggulan, XII A lebih mirip sarang anak-anak bermasalah. Kumpulan murid-murid bandel yang tertutupi nama baik kelas. Amia mendengkus lirih, memasang raut muka malas. Ia merasa sudah salah tempat.

"Gimana, sih, lo jadi ketua?!" Sambara menggebrak meja, berdiri dengan raut wajah murka. "Masa hari pertama udah langsung main hajar aja? Lo kata otak gue susu sapi yang bisa diperas kapan aja? Seharusnya lo sebagai ketua bisa ngelakuin sesuatu, dong!"

"Emangnya lo berharap gue bisa apa?!" Senna emosi. "Bisa ngebakar sekolah? Atau menjungkirbalikkan bumi?!"

"Si Senna kalau emosi jadi ngeri, gayanya udah langsung mau alih profesi. Superhero Marvel bisa insecure ngeliat ini!" Celetuk Alvaro, lantas tertawa bersama teman-temannya. Gayanya yang jenaka tampak kontras dengan predikat namanya, Amia tak percaya bahwa cowok itulah si pemegang peringkat pertama.

See You TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang