1. Alan

6K 530 100
                                    

Daun – daun kering yang mulai berguguran setelah terkena sinar matahari panjang di musim panas masih menumpuk di sekitar danau keruh yang sudah menjadi tempat bayi – bayi nyamuk bersarang dan bertahan hidup.

Di sana, ada aku dan Alan yang duduk bersama menatap jentik – jentik nyamuk itu berkembang. Mereka berada di situ, tak jarang mengusik pembicaraan kami. Mungkin merasa terganggu, karena ada Alan yang sering melempar batu ke danau.

"Le, kamu belum ditelepon mama kamu?" Alan menatap ponselku yang dari tadi aku pegang. Aku mengecek notifikasi ponselku, nihil, mama belum mencariku. Masih jam lima sore, mungkin belum terlalu larut untuk pulang. Padahal mama melarangku masih berada di luar rumah setelah maghirb.

Terlalu banyak mitos dan kata – kata 'pamali' dalam ceramahnya. Namun kalau dipikir, ada benarnya. Setidaknya selalu ada hikmah yang dapat aku ambil dari cerita – cerita tradisional yang ia ceritakan.

"Belum, Lan. Kayaknya mama aku juga masih di kantor deh," jawabku. Alan tersenyum tipis lalu menggeser bokongnya agar duduk lebih dekat deganku di atas akar pohon rindang ini. Alan merangkul bahuku lalu mengacak – acak rambutku.

"Tapi kan kamu harusnya dicariin, Le. Lagi kayak gini ga mungkin orang – orang ga merhatiin kamu," ucap Alan. Aku terkekeh mendengar pernyataan Alan. Ya, memang sih, orang – orang sangat memerhatikan aku beberapa waktu belakangan ini. Buatku, semua ini berlebihan.

Saat membuka notifikasi tadi, memang tidak ada notifikasi dari mama, tapi notifikasi dari sepupu, om, tante, teman, pokoknya orang – orang yang khawatir kepadaku sudah menumpuk layaknya daftar pekerjaan rumah.

"Santai aja elah," ucapku dengan nada ringan. Alan nampak sedikit kesal terhadap pernyataanku yang menyuruhnya untuk santai. Kondisiku tidak bisa dibilang ringan, jelas Alan kesal. Tapi, ya, aku merasa hal ini tidak perlu dibesar – besarkan. Toh, tidak sebesar itu masalahnya.

"Papa kamu? Ga telepon?" tanya Alan. Aku mengangguk. "Telepon kok," jawabku. Alan mengerutkan dahinya. "Lah terus? Itu papa kamu udah cariin kamu. Kamu ga mau pulang, Le?" tanya Alan lagi yang tidak henti bersikap khawatir, padahal aku baik – baik saja.

"Ya emang kalo nyariin juga biarin aja sih, Lan. Dia juga kan ga ada di rumah." Alan terdiam sejenak setelah aku berkata seperti itu. Ia mencoba paham kondisiku yang bodo amat dan tidak mau memperkeruh suasana.

Alan juga mencoba paham bahwa sebenarnya, aku tidak mau membahas hal ini. Bagiku, biarlah masalah ini berlalu sebagaimana adanya. Tidak perlu didramatisir, hidupku bukan sinetron atau drama Korea.

Alan yang awalnya jail mengacak – acak rambutku berubah menjadi Alan yang mencoba membuatku nyaman. Ia menepuk bahuku perlahan lalu menghela napasnya. "Kamu kok bisa sih masih tegar begini," gumam Alan.

Aku tertawa kecil mendengar Alan yang bingung denganku. Sudah mengenalku cukup lama, namun Alan masih bersikap layaknya ia tidak tahu siapa aku. Tapi dapat kukatakan, Alan tidak benar – benar mengenalku. Ia kurang peka, atau mungkin ia tahu tapi ia bersikap seperti tidak tahu.

"Mau gimana juga mereka masih ortu aku. Ga akan ada yang berubah dari hal itu." Alan menatapku dan tatapannya membuatku terkunci sesaat. Ia menunjukan rasa empatinya kepadaku.

Aku tidak akan bilang bahwa aku tidak membutuhkannya, tapi aku tidak suka diberi tatapan seperti itu. Tatapannya membuatku merasa bahwa hidupku seburuk itu.

Hidupku cukup buruk, keluargaku apalagi. Aku memilih untuk tidak menganggapnya buruk.

Hanya perceraian. Toh, mereka berdua masih hidup.

Walau ibuku depresi, kakakku minum – minum, ayahku entah apa kabarnya, mereka masih hidup dan masih memperhatikanku. Semua itu sudah cukup, aku bersyukur.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Somewhere Only We KnowWhere stories live. Discover now