Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Tangan hangat tiba-tiba saja melingkar di pinggangku. Dia yang jam 3 pagi ini masih tertutup selimut dan hanya menampakkan kepalanya saja. Tidur nyenyaknya di dadaku, lingkaran tangannya, napasnya yang menusuk dada, membuatku tak ingin tertidur lagi. Kuusap kepalanya, kukecup keningnya lantas kurengkuh tubuhnya yang terasa mungil.
Terbayang malam ini aku banyak melakukan kegilaan yang luar biasa. Entah apa yang menyelimutiku malam ini, mulai dari menyiapkan makan malam romantis, bernyanyi untuknya seperti tak tahu malu, dan setelahnya banyak hal gila yang aku lakukan juga. Mungkin benar, efek samping dari cinta adalah kegilaan yang berlebihan. Tapi semua akan berbuah pahala jika itu dalam pernikahan.
"Jam berapa, A?" Suara paraunya di dalam pelukanku.
"Jam 3an, Sayang. Nanti Aa bangunin kalau sudah adzan subuh," bisikku.
Defia menjauhkan kepalanya, memicingkan mata padaku. "Kita kan harus mandi, kalau banguninnya pas adzan subuh ya telat nanti sholatnya. Kamar mandi cuma satu, harus gantian lagi kan."
Aku tersenyum, ternyata dia tahu baik buruknya bagaimana. Alhamdulillah bisa jadi pengingat yang baik. "Ya sudah, Aa dulu yang mandi ya?"
Dia mengangguk.
Adzan subuh berkumandang ketika Defia keluar dari kamar mandi, pagi-pagi mandinya tetep lama. Dengan rambut basah yang masih dibungkus handuk, dia menyiapkan mukena, pakaianku untuk sholat, dan sajadah. Di gelarnya di lantai hotel.
Dua rakaat ini terasa lebih aku syukuri dari biasanya, mungkin karena kemarin terlalu dibalut benci dan seolah jauh dari Tuhan. Kini aku memohon ampun atas apa yang aku dan istriku lakukan, dan terus memanjatkan doa agar kami tak semakin jauh dari Tuhan. Itu penting, sebab ketika kau jauh dari Tuhan, hidupmu berada di ujung celaka.
Defia menjabat tanganku, mencium punggung telapak tanganku sambil memejamkan matanya. Dia begitu manis, makmum yang akan selalu aku lindungi dari apapun, yang akan selalu aku genggam dimanapun kita melalui jalan. Entah terjal, lurus dan berkelok, aku akan selalu bersamanya.
Aku tangkup kepalanya, kupandang dia lekat. "Jadilah istri yang sholeha," bisikku lantas mencium keningnya.
Dia tersenyum manis.
Menunggu Defia mengeringkan rambut, menunggunya mematut diri di depan cermin, menunggunya berganti pakaian seolah menunggu Indonesia bisa juara AFF butuh waktu yang lama. Tapi entah kenapa, rasanya tak selama itu, sebab aku suka memandangi setiap gerak-geriknya. Hanya melihatnya mengingatkanku pada nama kontak yang belum aku ganti.
"Teh, telepon nomor Aa deh," pintaku pada Defia.
"Emang hilang?" Tanyanya sambil memakai jilbab.
"Telepon aja," kataku mendekat.
Masih harus menunggu Defia menghidupkan ponselnya, semalam mati, baru dicas semalam setelah sampai hotel.
Setelah hidup barulah Defia menelponku, ponsel yang sebenarnya ada digenggamanku. Jadi langsung aku tunjukkan di depan Defia. Ponselku yang masih berdering menampilkan namanya.
Wife ❤️
Defia menoleh padaku. "Nggak jadi last love?" Tanyanya.
Menggeleng. "Ntar dibilang alay, yang di Teteh digantilah!"
"Ganti sendiri lah, Husband terus tanda love gitu aja. Biar sama," katanya sambil merapikan hijab yang bagian belakang.
Sesuai dengan instruksinya jadi ya hanya aku ganti dengan Husband ❤️. Tak perlu dijelaskan lagi, tentu Defia ialah cinta terakhirku. Selamanya orang-orang juga akan tahu siapa Defia untuk seorang Hanif Abdurrauf Sjahbandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Fiksi PenggemarDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...