Ke-Akuan

4 0 0
                                    

KeAku-an

"Dalam jejaring nafsu yang mencengkram, melepas aku yang keAku-an. melepas hina berbau bunga, bunga semerbak panca surya, mengkilau dalam roh dan dosa. Hingga mengambang dalam negeri satu malam."

Senja telah menutup tugasnya, sang Gelap kembali datang dengan tugasnya. Langit yang cerah kini telah berubah menjadi gelap dan berwarna hitam, senja sepertinya tidak ingin meninggalkan cahaya yang terus terang dari dirinya, gelap ingin merenggutnya dengan cepat dengan mengusaikan senja dengan gelapnya malam.

Malam tak berbintang dan langit tanpa hiasan. Terlihat samar di upuk timur, pohon tinggi menjulang. Dibalik, nyalanya lampu penanda ada kehidupan di bumi ini. Aloi yang berpangku tangan, mengenggam harapan akan malam yang gelap. Penuh dengan pertanyaan dan jawaban logis bertahbis dunia, itu yang ingin dia dapatkan. aku tersandar dengan rasa pilu, dan sedih memikirkan nasib tiada berubah. Hanya selembaran kertas yang hendak aku dapatkan kelak ketika tugas, dan pendidikan ini telah usai di kota perantau ini.

Malam telah memeluk mimpi kami, dan membungkusnya dengan syair gemuruh alam. Sejuk, panas dan hawa rintihan setiap insan memiliki nasib seperti kami sepertinya terdengar jelas. Berharap kertas itu dapat di cetak demi mengubah masa depan, dan status kami yang masih hina ini. Ya... kini kami harus berlapang dada, sebab masalah yang tengah kami hadapi memiliki hikmah yang mulia. Aloi seperti bisa merasakan detakkan jantung yang tengah merada dalam dada ini.

"Kenapa harus pusing dengan masa depan kita In?" hardiknya dengan tegas dan lugasnya.

"Aku tidak berpikir masa depan kita. Namun, itu termasuk dari jawabannya loi." Jawabku dengan santainya, sambil mengenggam tiang yang tepat di depan pintu kamar kos. Tatapan mata Aloi yang terus memperhatikan diriku membuatku berpikir.

"Bagaimana mungkin ia mengetahui isi hati dan pikiran yang aku miliki."

Kini yang aku miliki sekarang adalah sejuta harapan dengan nafas yang terus berhembus dengan aliran darah yang selalu cepat mengalir demi mengapai masa, dimana aku akan berada dalam kenyamanan. Akan tiba saatnya kami merasakan keindahan yang dijanji berbekal kerja keras dan doa kami yang tidak tersemayang dalam hening namun berkumandan di mulut kami masing-masing. Hingga akhirnya hanya ada aku, kamu, mareka, dan dia bersama mimpi indah.

Di tengah peraduan antara nasib dan masa depan, aku tercenggang tersejenak merapai setiap sudut kamar kecil yang aku tempati itu. Buku-buku pelajaran, dan novel-novel yang berserakan bersama dengan pakaian yang bergelantungan di tempat ini. Membuat jenuh dan naluri untuk bergerak kembali, membereskan dan merapikan segalanya. Aku ingin selalu berkobar, dengan nyala semangat yang terus merayu jiwa untuk merajut untai benang kasar menjadi tali temali yang mengikat dengan kuat di setiap sisi kehidupan.

"Brekkk.... Brekk. Terdengar pintu kamar terbuka." Ternyata aloi yang sedang asyik memperhatikan perkerjaanku.

"Ck..Ckc..Ckck.... rajin kali ya anak desa." Tungkasnya dengan senyum yang bertaburan di gantungan bajuku.

"Wah... rupanya tukang intip yang membuat pintu seperti di tendang, rajinlah Loi!" dengan nada yang sedikit meninggi, karena kaget oleh suara pintu.

"Eiits.... ngomong-ngomong uang semester udah dibayar belum In..?" ucapnya dengan raut wajah yang memerah dan tampak dilanda pusing.

"Belum Loi.. itulah yang aku pikirkan, bagaimana cara membayarnya.?" Sembari melipat pakaian dan perpura-pura tidak khawatir dengan keuangan perkuliahan.

Tanpa sepatah kata yang dapat Aloi ucapakan, lalu pergi meninggalkan obrolan singkat itu. Itulah Aloi, lelaki yang kadang dapat membuat canda dan kadang dapat memberikan misteri jawaban dan perbuatan buat siapa saja yang telah mengenal dirinya. Sebut saja dia seperti, sang gelap yang merebut sang senja.

KUNCI KE-AKUANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang