Sirine dari motor polisi yang sedang bertugas menggema ditengah kemacetan ibukota, bahkan kendaraan roda dua pun tidak luput dari kemacetan. Aku mulai terganggu dengan suara sirine yang semakin kencang karena berada tepat disamping bis yang kutumpangi. 'teeet teet teet' sepertinya polisi itu sengaja mengklakson bis kami agar diberi jalan, orang – orang didalam bis mulai menunjukan rasa jengkelnya.
"ihhh, berisik banget. Enggak tahu apa didepan macet enggak bisa gerak" celoteh seorang gadis disebelahku, pakaiannya sangat rapi dan dandanannya sangat mencolok padahal sepertinya dia lebih muda dariku.
"kayaknya presiden mau lewat mbak, jalan didepan di blokir tuh..." seorang ibu paruh baya didepan kami menimpalinya. Jujur saja bibirku juga mulai gatal mendengar ocehan mereka, tapi aku menahannya. Tidak ada untungnya bagiku, dan hari ini adalah hari pertama aku bekerja. Jantungku berdebar kencang melihat jarum jam dilenganku yang terus berjalan sementara bis ini masih diam ditempatnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian bis ini mulai bergeser dan merangkak maju, terlihat banyak polisi disetiap sisi jalan. Sepertinya ada orang penting yang baru saja keluar dari jalan tol disisi kanan jalan, 'Masih keburu, syukurlah....' Bisikku dalam hati.
"Halo, nama saya Tiara. Untuk kedepannya mohon bantuan dan kerjasamanya" begitulah penutup dari perkenalan seorang pegawai baru lainnya. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di Pengadilan Agama ini, semua perhatian tertuju pada Tiara yang merupakan putri bungsu seorang pengusaha terkemuka di Ibukota. 'fokuslah pada tugasmu disini nak..' seruku pada diri sendiri.
Semua orang mulai menyibukan diri mereka dengan tugas masing-masing, dan beberapa orang senior masih sibuk bercengkrama dengan Tiara. Aku rasa dia mulai merasa tidak nyaman, wajahnya tersenyum tapi matanya seakan meminta pertolongan. Aku menarik nafasku dalam-dalam huff... 'hanya sekali ini saja okee..' seruku meyakinkan diri sendiri.
"maaf Tiara, bisa tolong bantu aku?" akhirnya kaimat itu keluar dengan mulus dari bibirku. Para senior mulai menatapku "bu Eka memintaku membawa semua ini ke lantai dasar" ada sekitar lima tumpuk berkas dimeja dan memang semua ini adalah berkas milik bu Eka untuk bahan persidangan hari ini.
Tiara tersenyum padaku "boleh, sini kubantu..." dia mulai meraih beberapa tumpukan berkas dimeja, yups, ini salah satu tugas utama seorang junior yang baru memasuki pengadilan, membantu Senior dalam mempersiapkan pengadilannya. Para senior mulai beranjak meninggalkan ruangan dan kembali pada ruangan mereka masing-masing.
"ahh, terimakasih ya Tiara untuk bantuannya. Sebagai gantinya aku traktir Es krim nanti siang gimana?"
"Aku rasa itu tidak perlu, aku juga seorang junior jadi ini juga tugasku" sejujurnya yang tadi itu aku hanya basa basi dan syukurlah responnya baik untukku. Itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku menyapa Tiara, dia tidak pernah lagi menunjukan senyumannya padaku. Waktu berlalu dengan cepat dan hari ini seisi pengadilan sedang disibukkan dengan sebuah kasus perceraian seorang politikus. Pintu depan dijaga dengan sangat ketat oleh petugas keamanan namun belum juga mampu membendung media massa yang terus saja berdatangan. Para klien lainnya jadi sedikit kesulitan untuk memasuki pengadilan, bahkan ada yang memilih untuk pulang dan membuat sidang mereka tertunda.
"yang ditunggu belum tentu datang, paling pengacaranya saja yang datang" celetuk Sinta partnerku.
"emang kamu Tuhan apa sin, bisa tahu Pak Den datang atau enggak" balasku sambil membereskan beberapa dokumen dimeja.
"Yah... nama juga politikus, pasti sibuk mondar mandir apalagi sebentar lagi pemilu. Tahu ga Ay?" tanyanya sambil berbisik. Membuat ku menggeleng perlahan "dulu sebelum Pak Den menjadi politikus terkemuka, dia hanya seorang penjual beras bersama istrinya yang sangat setia. Banyak rumor yang bilang kalau Pak Den yang menyebabkan perceraian ini"
"apaan sih Sin, masih pagi sudah bikin gossip. Kenapa ga sekalian ikut baris sama wartawan diluar" aku menggelengkan kepalaku perlahan "enggak baik ngomongin orang pagi – pagi"
"ohh, oke deh. Aku mau nunggu siang hari"
"mau ngapain?"
"lanjutin ngegosip" Sinta menjulurkan lidahnya sambil meledekku. Kalau sudah begini aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang konyol. Denny Danuwangsa itulah nama politikus paling hits beberapa bulan ini, namanya mulai dikenal masyarakat karena sikapnya pada salah satu talkshow disebuah stasiun televisi yang menunjukan betapa besar rasa nasionalisme yang ia junjung tinggi. Mungkin ini yang disebut sebagai cobaan diatas puncak, dua minggu yang lalu istrinya datang kepengadilan ini untuk menggugat cerai sang suami.
"tolong beri jalan..." seru seorang petugas keamanan diluar pintu masuk, sebuah sedan hitam memasuki gerbang depan pengadilan. Seketika itu para wartawan mulai melakukan aksi dorong mendorong, para cameramen mengangkat kamera mereka tinggi-tinggi dan membidik tepat didepan pintu mobil tersebut. Seorang pria turun dengan masih menggunakan setelan jas berwarna abu-abu, lengkap dengan kaca mata hitam yang melindunginya dari tembakan blitz kamera.
"Ohh – My – God...!! Dia datang Ay...!" seru Sinta tak percaya, kedua tangannya berhasil menutupi bibirnya yang terbuka lebar.
"Pak Den, apa alasan istri anda menggugat anda?" itulah salah satu dari puluhan pertanyaan yang diberikan para wartawan, tapi pak Den tetap diam. Hanya bibirnya yang berhasil memberikan senyum simpul kepada para wartawan.
"waduuh disaat seperti ini saja karisma nya itu berasa banget ya Ay..." mataku dan mata Sinta terus mengikuti punggung pak Den, kali ini aku mengangguk setuju. "Sin, aku balik keruangan dulu ya" aku bergegas menuju lantai tiga, tiba – tiba pertanyaan wartawan tadi melintas dipikiranku, membangkitkan rasa keingintahuanku. Sebuah berkas dimeja Tiara langsung menjadi sasaranku, yup itu berkas perceraian pak Den politikus fenomenal saat ini.
Perlahan tapi pasti aku membolak-balik kertas itu, mataku mulai terasa panas membaca kata demi kata yang terukir disana. "apa yang sedang kau lakukan?" Tanpa kusadari Tiara sudah berada dibelakangku.
Ku hapus jejak-jejak air mata yang hampir saja jatuh membasahi pipiku. "Maaf, aku penasaran Tiara" ucapku jujur padanya. "Yaa.. ini bukan kasusmu jadi kau tidak punya hak untuk menyentuhnya" entah kenapa aku merasa sikap Tiara ini sangat berlebihan, benar kami memang tidak akrab. Kami layaknya siang dan malam atau langit dan bumi, sangat berbeda satu sama lain dan itulah alasan utamaku menjauh darinya.
"aku tahu tapi...." Tok tok tok secara reflek kepalaku menoleh kearah pintu, dan betapa terkejutnya aku melihat siapa yang berada di depan pintu. "Hai..." mataku langsung mencari kemana arah yang dituju pak Den dan Deg..! 'itu Tiara' bisikku pada hatiku.
YOU ARE READING
Mantan Terindah
General FictionRasa Sakitnya... Bahagianya... hingga yang tersisa hanyalah sebuah kenangan.. antara aku, kau, dan dia