“Tanpa kusadari, diriku yang terikat oleh darah Ksatria, kini membentuk sebuah takdir. Tugas yang dilakukan leluhurku terdahulu, kini berada di pundakku. Dan aku mengerti, bahwa tugas itu merupakan bayaran yang harus kulaksanakan untuk mengakhiri semuanya… Tugas sebagai Ksatria Pelindung …”
Angin bertiup semilir dari arah timur, melambaikan lembut rerumputan liar di Padang Rumput Kiris lalu berlanjut menggerakkan ujung pepohonan secara beruntun dari Hutan Fiori hingga ke Lembah Tyran, sebelah tenggara Benua Durinas. Di kawasan Lembah Tyran, terdapat Desa Kyoran yang terletak di kaki jajaran Pegunungan Beron yang besar dan menakutkan. Tidak ada seorang pun yang berani memasuki daerah pegunungan itu atau bisa keluar setelah menjelajahinya. Kabarnya pegunungan itu menyesatkan, penuh medan yang berbahaya dan dipenuhi dengan monster-monster yang ganas.
Hari itu, udara yang masih terasa dingin dan segar diwarnai oleh aroma mint tumbuhan liar Chrostan yang selalu tumbuh tersebar dimana-mana dalam kondisi cuaca apapun. Di atas sana, langit gelap berbintang telah berlalu sekitar satu jam yang lalu, tergantikan langit yang samar-samar mulai tardapat berkas-berkas warna putih keemasan, tanda matahari mulai menampakkan dirinya.
Tak jauh dari luar desa, sebatang pohon ek tua bernama Deidura, berdiri kokoh di bukit kecil di bagian barat desa. Tak ada yang tahu asal mula keberadaan pohon itu. Sudah ratusan tahun, pohon itu dianggap sebagai pelindung penduduk Desa Kyoran dari ancaman apapun.
Di antara dahan Pohon Deidura yang besar terdapat sarang burung berukuran sangat besar dan sudah lama tidak ada penghuninya. Dan seorang bocah berusia sekitar 16 tahun tampak tertidur pulas di dalamnya. Pakaiannya penuh dengan robekan di sana-sini dan terlihat sangat kotor dan penuh dengan bercak-bercak darah dan debu. Rambutnya yang coklat kemerahan terpangkas pendek dan awut-awutan, bergerak lembut saat angin meniupnya, membuat ia tertidur semakin nyenyak. Terlihat dari bercak-bercak darah yang menghitam di berbagai tempat dibajunya, sepertinya bocah itu sudah tertidur semenjak kemarin sore. Bocah itu tidak sendirian. Ia ditemani oleh seekor kuda betina yang anggun berwarna coklat madu bersurai putih—Norn—yang tengah asyik merumput di bawah Pohon Deidura sambil menunggu tuannya bangun.
Saat matahari mulai menerobos dari sela–sela Pegunungan Beron, Desa Kyoran mulai bermandikan cahaya keemasan, diikuti pemandangan sekitar desa yang sedikit demi sedikit mulai terlihat jelas. Begitu juga dengan sungai Trya dan Troya—sungai kembar dari pegunungan Beron yang saling menyilang di tengah-tengah Desa Kyoran—memantulkan seberkas cahaya mentari bak kumpulan emas di atas air.
Bocah itu terbangun saat sinar hangat matahari menerobos ke sela–sela dedaunan Pohon Deidura yang bergoyang pelan oleh angin sejuk.
Sebenarnya ia sudah terbangun, tetapi ia sengaja berbaring lebih lama seraya mengumpulkan kesadarannya yang masih melayang entah kemana. Ia terlalu nyaman hingga malas untuk bangun, tapi sesaat kemudian mendadak terduduk cepat saat menyadari ada sesuatu yang membuatnya bergidik. Samar-samar ia mendengar suara yang sudah sangat ia kenal sejak kecil dari kejauhan. Di saat yang bersamaan, tubuhnya terasa sakit dan ngilu walaupun ia tidak terlalu peduli, ia lebih peduli pada suara itu. Tak lama kemudian pemilik suara itu muncul dari kejauhan dengan penampakan sosok kecil.
“Ryon Arfields…! Hei, Ryon! Kau di sana, kan?! Ryon…! Jawab aku!” Suara teriakannya kali ini terdengar lebih jelas, keras walau sang pemilik suara masih terlihat jauh dari pohon. Suara cemprengnya yang sangat keras memecah keheningan pagi yang tenang. ‘Mungkin kah…?’ pikirnya seraya menelan ludah. Ryon meraba-raba sekitarnya, lalu tangannya menemukan sebuah teropong kecil dengan satu lensa yang cukup panjang. Ia mencoba memastikan apakah dugaannya benar atau salah. Dengan teropongnya Ryon melihat sosok yangmerupakan seorang gadis pelayan berkuncir dua dengan memakai gaun biru tua yang agak lusuh dan celemek putih berlari ke arah Pohon Deidura. Rambutnya yang panjang dan berwarna coklat tua melambai–lambai tertiup angin padang rumput saat ia berlari.