Awan muncul di atas Seoul, merangkulnya dalam kelabu pekat, menyatu dengan warna gedung apartemen dan jalanan, tidak peduli dengan eksistensi manusia yang sedang berlalu-lalang.
Jeongin mengenakan mantel hitam dengan scarf yang ironisnya berwarna abu-abu. Ia menyembunyikan jemarinya dalam saku mantel dan menenggelamkan hidungnya pada lipatan scarf kelabu itu. Jeongin menyadari ia sama suramnya dengan segala hal yang ada disekitarnya.
Hari ini pertengahan Desember, warna kuning-merah-cokelat khas musim gugur telah lama hilang, sepertinya alam pun sudah menyerah menghadapi warna kelabu kota ini. Salju yang telah ditunggu sepertinya tidak akan datang tahun ini, digantikan oleh hawa dingin yang membekukan segalanya menjadi warna kelabu kusam.
Jeongin menempuh rute ini setiap pagi dan malam selama tiga tahun terakhir, jalanan ini sepi namun ia tidak berencana untuk mengubah rute perjalanannya. Bagi Jeongin ini sempurna -sebuah rute panjang diantara kantor dan rumahnya- atau mungkin sebuah ruang kelabu yang ia sebut rumah.
***
Jeongin tidak membenci pekerjaannya sebagai pekerja kantoran rata-rata dengan gaji yang lebih dari cukup. Ia tidak membenci apartemennya yang nyaman. Masalahnya adalah ia tidak merasakan apapun. Hanya kosong dan hampa. Jeongin cukup senang ia tidak punya siapapun untuk peduli pada kekosongan di dadanya.
Pria berambut hitam itu menarik scarfnya lebih tinggi keatas hidung, jemarinya kembali menyusup kedalam kantong mantelnya berlindung dari hawa dingin yang menusuk tulang. Langkah kakinya adalah satu-satunya suara yang bergema di jalanan yang kosong. Semua yang ada disekitarnya diam dan sunyi dan ketika suara raungan memekakkan telinga muncul dari angkasa tubuh Jeongin berhenti bergerak seketika. Kepalanya terangkat, mencoba menemukan sumber suara.
Tabir awan di langit seolah terbuka, hanya satu blok jauhnya dari tempat Jeongin berdiri saat ini. Sebuah cahaya menyilaukan datang dari sana, seolah Jeongin sedang menatap matahari itu sendiri. Tetapi bukan cahaya ataupun kebisingan itu yang mengejutkannya melainkan sesosok manusia. Ah, bukan...sosok menyerupai manusia yang terlempar kebawah melalui sinar yang datang dari langit itu.
Anjing-anjing mulai menggonggong di suatu tempat di kejauhan, burung-burung berhamburan dari pohon-pohon dan tiba-tiba terowongan cahaya di langit itu menghilang.
'Tidak, kau sama sekali tidak peduli, Jeongin. Teruslah berjalan' Jeongin berusaha meyakinkan dirinya sendiri, namun entah bagaimana ia justru melangkahkan kakinya menuju tempat suara itu berasal.
***
Jeongin melangkah maju sebelum membeku kembali -apa yang ia lakukan? ia tidak bisa merasakan, jadi mengapa ia merasa harus pergi ke sana? Apa yang begitu kuat sehingga bisa menembus dinding kelabu di sekeliling jeongin?
Ia mengambil sebuah langkah maju kemudian mulai berlari. Ia memacu langkahnya tanpa tujuan, ia bahkan tidak tahu arah yang harus ia ambil. Namun itu tak menghentikan langkahnya barang sedetikpun.
Kaki Jeongin melangkah sendiri, nafasnya membentuk kepulan uap putih. Jeongin tak habis pikir dengan apa yang ia lakukan, konyol sangat konyol. Tapi ia sadar ini adalah upayanya untuk merasakan sesuatu lagi, Jeongin melangkahkan kakinya semakin cepat sampai ia menemukan sesuatu, ah bukan melainkan seseorang.
Bagaimanapun apa yang ada didepan Jeongin menyerupai manusia dengan sepasang kaki telanjang dan masing-masing lima jari kaki berdiri di trotoar abu-abu kusam. Sepasang kaki yang bisa membuat atlet iri tersembunyi di balik kain linen putih yang dikenakan sosok itu. Dua tangan yang sangat mirip dengan tangan manusia mencengkeram tembok, menjaga agar pemiliknya tidak terkulai ke tanah. Dan wajahnya, sosok didepannya ini memiliki wajah yang tak bisa digambarkan dengan perbendaharaan kata yang Jeongin miliki, ia sempurna kecuali sepasang sayap yang dimiliki sosok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
heaven on earth || hyunjeong ✔️
FanfictionJeongin terjebak dalam sebuah tempat dimana ia tidak bisa merasakan apapun -tidak kebencian, tidak pula cinta- hanya sebuah kegelapan mutlak. Jeongin tidak bisa pergi kemanapun... sampai surga sendiri datang dan menjadi bagian hidupnya. A Pieces of...