Semalaman mereka melakukan perjalanan untuk pertama kalinya dan setelah merasa sangat lelah, akhirnya mereka berdua sampai di kota Svine saat subuh.
“Ryon, aku lelah. Ayo kita cari penginapan. Kita cari informasi saat sudah terang saja,” kata Luna lemah. Terlihat rona hitam di bawah matanya.
“Ya, aku setuju. Ayo kita keliling sebentar,” kata Ryon lemah. Bukan hanya Luna, di bawah mata Ryon juga berwarna hitam. Mereka berkeliling desa cukup lama. Mereka tidak menemukan satu pun penginapan yang kosong.
“Bagaimana ini?” tanya Ryon. Ia terlihat tidak kuat lagi. Norn juga terlihat lelah, kudanya menunduk sambil berjalan pelan dengan terengah–engah.
“Kita menginap di gudang saja. Aku yakin di desa ini banyak gudang,” usul Luna. Tanpa pikir panjang lagi mereka segera pergi mencari gudang. Ya, usaha mereka tidak sia–sia, pada akhirnya mereka menemukan gudang yang lumayan bersih dan kosong. Mereka menambatkan tali kekang kuda mereka di suatu tiang lalu masing–masing mencari tempat yang berbeda untuk tidur. Tanpa banyak bicara lagi mereka sudah tertidur pulas.
*
Pagi itu tampak mendung dan muram. Sejak subuh tadi, matahari enggan menampakkan dirinya dan tetap bersembunyi di balik awan yang menggulung-gulung. Kediaman Arfields tampak sepi, yang ada hanyalah beberapa pelayan sedang membersihkan rumah, pekarangan, atau kandang kuda yang hanya berisi beberapa ekor kuda dengan muram.
Runia terkejut, ketika mendapati sebuah surat di bawah pintunya saat ia hendak keluar untuk sarapan. Ia menatap lama surat itu. Kemudian Runia membuka lipatan surat itu dan membacanya. Tampak tulisan tegak bersambung yang sedikit berantakan, Runia menyadari tulisan itu milik Ryon. Sebuah surat yang berisikan:
Untuk Ibuku yang kusayangi
Maafkan aku, Bu… Aku mengerti tentang takdir seperti yang ibu katakan waktu itu… Aku memutuskan akan melakukannya.. Maaf aku tiba–tiba pergi tanpa pamit… Aku hanya tidak ingin melihat air mata ibu tertumpah saat melihat aku pergi bersama Frozan nanti… Tenang saja, aku tidak pergi sendirian… Ada Luna menemaniku… kami berdua akan baik-baik saja.
Aku hanya membutuhkan doa ibu agar kami berdua baik-baik saja…
Nb: maaf aku belum sempat membelikan ibu sebuah kado Reayer...tapi saat aku pulang nanti...aku akan memberikan kado terindah...
Salam terhangat,
Ryon
Setelah selesai membaca surat itu seketika Runia merasa lemas. Matanya mendadak terasa panas dan berkaca-kaca. Runia terduduk di lantai. Airmatanya mengalir deras tanpa suara. Ia menangis kehilangan. Tangisan yang sama saat ia ditinggal pergi oleh suaminya. Ia merasa kali ini putranya pergi untuk melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, bukannya kabur seperti biasa. Cukup lama Runia dapat menenangkan dirinya. ‘Akhirnya terjadi juga... Anak bodoh.... ibu tidak memerlukan hadiah... bagi ibu, kau adalah hadiah yang tiada duanya..’, pikirnya. ‘Worren… Akhirnya putramu telah memutuskan takdirnya. Kau benar… Ternyata aku memang tidak bisa mencegahnya… Jagalah dia… Semoga dia selamat dan baik-baik saja…’ ujarnya dalam hati. Ia sudah cukup tenang. Sekarang Runia tinggal memberitahukan Frozan soal kepergian Ryon ke kerajaan dengan sendirinya.
Runia pergi menuju ruang kerjanya. Lalu ia membuka jendela lebar-lebar. Angin dingin menerpa wajahnya. Ia menatap jauh pemandangan di depannya.
“Jaga dirimu, Ryon… Luna... Restuku selalu mengiringi perjalanan kalian…” bisiknya sambil tersenyum tipis.
Saat ia asyik melamun, tiba-tiba ia dirasuki perasaan asing yang menusuk. Ia menoleh ke belakang. Sesosok pria berdiri di belakangnya.
“Pagi, Runia,” sapa Frozan lembut sembari tersenyum. Runia memutar tubuhnya, kini ia berhadapan dengan Frozan.