Matahari siang menyengat ubun-ubun. Hiruk pikuk murid sekolah menengah atas negeri di kota Beijing berhamburan seusai dentang bel pulang berbunyi. Deru mobil bus berpadu lalang siswa siswi pejalan kaki, meriuhkan jalanan untuk sementara waktu.
Sebuah halte bus penuh sesak berbaur senda gurau anak remaja yang seolah tak terusik dengan panas hawa yang menyelimuti bumi. Pulang sekolah adalah saat yang dinanti untuk kembali kenaungan rumah yang teduh sejuk, berkumpul bersama keluarga.
Li Minu tampak terasing dengan keramaian. Duduk di sudut halte, menyelendangkan tas di bahu. Lelaki berperawakan tinggi tegap itu lebih banyak berdiam diri.
Matanya tak lepas dari memerhatikan setiap langkah kawan-kawannya yang menyebar. Ada tatap harap tercuat dari tajam pandangannya berusaha menemukan seseorang.
Nyatanya, dalam kepala Minu tengah berkecamuk sebuah pikiran yang tersembunyi. Tentang setitik sandera cinta yang mengikat jiwanya tanpa ampun. Menampilkan seraut wajah manis yang siang itu dia tunggu, meski semua daya dan upayanya tak lebih dari memuja dalam hati.
"Kau akan diam saja di situ, huh?"
Junkai berteriak keras dari pintu belakang bus yang sesak dengan anak sekolah. Buru-buru Minu berlari, menjangkau pegangan di atas pintu belakangㅡberdiri menggelayut, sementara bus kembali meluncur membelah jalanan dengan suara gaduh anak remaja di dalamnya.
"Hari ini lagi-lagi aku tak melihatmu," celoteh benak Minu menyaingi riuhnya suasana dalam bus. Cahaya matanya muram, mendekap cinta dalam hati.
•
※ Last Poem ※
Pair :
Li Minu & Meng Jia•
Hari hampir malam, Jia berulang kali melihat jam dinding putih di rumah Minu. Perempuan manis berperawakan semampai ramping itu adalah senior Minu yang sekarang tengah mengeyam pendidikan di bangku kuliah.
Akhir-akhir ini dia sering main di rumah sang adik kelas. Di samping mereka sudah berteman sejak kecil, Jia juga merasa kagum dengan puisi-puisi karya Minu atau mungkin ada kekaguman lain yang dia tanam di hatinya.
Entahlah.
"Tadi Minu tidak bilang apa-apa, mungkin ia main ke tempat temannya." Nyonya Li sudah cukup akrab dengan Jia merasa kasihan melihatnya duduk termangu.
"Tidak apa-apa, besok saya mampir ke sini lagi," sahut Jia sembari menghela napas panjang. Tangannya memainkan kunci motor, keresahan kentara dia wakilkan dengan itu.
"Padahal sudah hampir malam, pergi ke mana ya dia?"
Jia menyunggingkan senyum tipis, sebuah respons atas perkataan Nyonya Li yang mencoba menghibur kesabarannya menunggu.
Sedetik berikutnya, Jia pamit pada Nyonya Li. Menjelang malam, senja terlihat damai dengan langit merah terpajang indah. Cakrawala begitu bersih, meski setitik awan putih tampak bertengger di setiap sudutnya.
Suhu jalanan pun menghangat ketika lalang muda-mudi tebarkan wangi. Gelak tawa mengudara menandai masa di mana cinta mulai terbit dengan suka cita.
Sementara di tempat lain, Minu berjalan riang keluar dari sebuah toko bunga. Setangkai mawar merah baru saja dibeli untuk melindungi perasaan yang menghebat atas seseorang yang begitu dia puja dalam hatinya.
•••
Junkai berlari kecil ke arah Yuzu telah sampai di gerbang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Terakhir ; Oneshoot
Teen FictionIa hanyalah segenggam pasir yang akan menghilang jika dilempar ke laut. 2018©foxienu