Hari ini dia berjanji akan menjemputku, di rumahku yang mungil ini. Rumah yang hanya sempat kuinjak kala aku sedang berlibur di Makassar. Setelah satu jam aku menunggu, akhirnya dia datang juga, ternyata dia tersesat. Aku sudah menduganya.
Setelah memberinya segelas air, kami pun berangkat menuju salah satu toko buku di Makassar. Dia sudah banyak berubah ternyata, tidak lagi pendiam, satu hal yang tidak berubah dari dirinya, yaitu tawanya. Kurasa jantungku berdetak tiga kali lebih cepat.
Di toko buku kami membicarakan banyak hal. Tentang masa-masa kuliahku, masa-masa kuliahnya, dan masa-masa sekarang. "Kamu sudah punya pacar, lif?" tanyaku tanpa melihat ke wajahnya. Aku mendengar tawanya. Aku tahu, tawa itu adalah pengganti jawaban iya untuk pertanyaanku. Ada sesuatu yang mendorongku dengan sangat kuat untuk melihat raut wajahnya. Ah, dia memergokiku menatap matanya yang teduh, mata kami beradu sepersekian detik. Aku berpaling, menyerah.
"Aku masih sama dia, kok," jawabnya sambil berjalan menuju kumpulan buku Best Seller.
Aku menimbang-nimbang maksud dari kata-katanya barusan.
"Dia siapa sih dek? Kamu kan tidak pernah cerita," dia menatapku sekilas dengan tatapan kebingungan.
"Sejak kapan manggil adek?" tanyanya dengan suara yang tidak senang. Aku ingin menjawabnya, tetapi sepertinya dia tidak membutuhkan jawabanku. Aku diam saja, menunggunya menjawab pertanyaanku. "Yuki... Dia kirim salam buat kamu, maaf tidak bisa ke sini katanya," tambahnya. Aku mengernyit, mengucapkan nama itu berulang kali di kepalaku dan menghubungkannya dengan kata-kata setelahnya.
Dia kirim salam? Apa itu berarti aku mengenalnya?, pikirku dalam hati.
"Maksud kamu Yukita Amalia?" tanyaku dengan terbata-bata, rasa penasaran menyelimuti pikiranku. Aku menatapnya lagi, matanya sarat kebingungan. Setelah itu aku mendengarnya menggumamkan kata iya sambil menganggukkan kepalanya. "Ya ampun, harusnya kamu memaksanya ke sini tadi, tega benar sih, masa yang seperti ini disembunyikan ke aku sih, jahat banget sih kalian," kataku sambil memasang wajah cemberut.
"Kejadiannya tiba-tiba dan sangat lucu. Nanti aku ceritakan ya. Aku lapar nih, ke food court mau? Kita makan dulu!" Ajaknya sambil menarik tanganku meninggalkan toko buku. Di jalan dia mengambil HP nya, dia terlihat sangat serius menatap layar HP, sepertinya dia sedang mengirim sebuah pesan, entah untuk siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Kami sering bertukaran surat ketika SMA, aku masih menyimpan semua suratnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, Apakah Alif masih menyimpan semua suratku?Seolah mendengar tanyaku dalam hati, dia berkata, "surat darimu, kamu saja yang simpan ya!" dia menyengir. Aku ingin marah, tetapi juga sedikit takjub, tidak percaya. Dia masih menyimpan semua suratku, kataku dalam hati.
Aku tidak menanggapinya, mencari-cari tempat yang enak untuk duduk, sementara dia memesankan aku makanan. Aku memintanya membelikan aku nasi goreng, aku lapar, sedari pagi belum makan. Dia kembali dengan dua botol teh di tangan kanannya dan sebotol mineral di tangan kirinya. Aku ingat, dia suka sekali minum teh. Sementara aku lebih memilih memesan jus lemon dan sebotol air mineral.
Dia terlihat mencari-cari sesuatu di tasnya, kemudian muncullah beberapa amplop surat di genggamannya yang kemudian dia letakkan di atas meja. "Disimpan ya, Mel!" katanya sekali lagi sambil mendorong surat-surat itu kepadaku. Aku menggeleng, dan mendorong surat-surat itu kembali ke tempatnya semula. Dia mengambil satu dari surat itu, kemudian mulai membacanya dari awal hingga akhir. "Aku paling suka surat yang ini," katanya kemudian.
"Oya, kenapa?" kataku kemudian menyeruput jus lemon pesananku yang baru saja bertengger di depanku.
"Kamu ingat tidak tulisan kecil di balik surat ini?" tanyanya beberapa saat kemudian. Aku pura-pura tidak peduli, aku mendekatkan piring nasi gorengku, kemudian mulai memakannya sesendok demi sesendok. "Kenapa gak jujur aja sih saat itu?" Aku yang sedang menguyah tiba-tiba tersedak. Dia dengan sigap menyodorkan ku sebotol air mineral. "Makasih," kataku padanya, wajahnya terlihat khawatir.
Ragu-ragu aku mengambil surat itu, membacanya dengan cepat. Tidak ada apa-apa. Tangannya tiba-tiba menunjuk sesuatu. "Masih ingat yang ini?" tanyanya lagi. Aku membalik surat itu. Seketika tubuhku membeku, wajahku memerah.
Aku sayang dia, bukan sebagai adik. Aku sayang dia layaknya seorang perempuan mencintai seorang laki-laki. Apakah aku salah?
Otakku bekerja dengan keras mengingat kejadian saat aku menulis surat itu untuknya. Seingatku, itu surat terakhirku untuknya sebelum aku meninggalkan Makassar. Oh my God, kata-kata ini.. Kok bisa sih?
Bayangan masa lalu berkelebat di kepalaku. Kemudian sebuah suara datang mengacaukannya.
"Boleh minta penjelasan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Rahasia
RomanceSeandainya saja aku bisa memilih cintaku. Aku akan memilih mencintai orang lain. Bukan kau. Kau yang tidak mungkin aku gapai meski inginku setinggi langit. Ah, aku memang sedikit berlebihan menggambarkannya. Tapi aku serius. Seandainya aku bisa, aku...