Menginjak SMA, gue baru ngalamin menstruasi pertama. Sejak saat itu gue gak bisa ngelihat mereka lagi. Gue ngasih tahu ibu dan ibu sangat bahagia ngedengernya. Mungkin inilah waktunya gue jadi orang normal seperti yang lain.
Gue sangat bahagia karena besok adalah hari spesial buat gue. Hari yang hadir hanya sekali setiap tahunnya.
---
3:15 pm
Gue bergegas pulang ke rumah. Gue tahu ibu pasti udah nyiapin hadiah buat gue.
HAPPY BIRTHDAY TO YOU
HAPPY BIRTHDAY TO YOU
HAPPY BIRTHDAY
HAPPY BIRTHDAYHAPPY BIRTHDAY...TO..
YOU...Saat gue ngebuka pintu, ibu udah lebih dulu nyanyi dengan megang cake di tangannya.
"Selamat Ulang Tahun Anakku Sayang! Tak terasa kau sudah sebesar ini, ibu berharap kau selalu di beri kesehatan." kata ibu mengelus kepalaku.
"Makasih bu..." gue pun meluk ibu erat.
"Kau tahu kan ibu sangat menyayangimu kan?"
Gue ngelepasin pelukan ibu dan natap ibu aneh. Ibu gak biasanya bertanya seperti itu. Dan juga, entah kenapa gue udah netesin air mata gue lebih dulu.
"Kau bukan ibuku..." gue baru sadar kalau tubuh ibu di selimuti cahaya berseri itu. Sama seperti mereka yang gue lihat dulu.
Ibu seketika berlutut dan turut nangis ngeliat gue "Maafkan ibu..." ucapnya.
Gue udah gak bisa nahan tangis gue lagi. Ini gak mungkin. Bagaimana bisa--
"Lalu... Dimana ibu sekarang?"
"Di rumah sakit."
Gue segera bergegas ke rumah sakit. Gue lari dengan segenap tenaga yang gue punya, tanpa lelah dan letih. Air mata gue juga terus mengalir sepanjang jalan.
Gue ngeliat mobil ambulance yang baru saja tiba depan rumah sakit dan mengeluarkan pasien dengan pakaian serba putih berlumuran darah.
Gue berlari menghampiri pasien itu.
Gue masih gak percaya dengan apa yang gue lihat sekarang. Bagaimana bisa ibu terbaring disini?
"Ibu... Bertahanlah. Kau tak boleh meninggalkanku, uh? Kau bilang kau akan bersamaku sampai aku tua nanti." gue gak terima ibu berbaring kek gini. Gue terus megang tangannya tanpa celah sedikitpun.
"Kau tunggu disini. Ibumu akan di tangani dokter." ucap salah seorang dokter menghentikan langkah gue saat ibu di bawa masuk ke dalam ruangan yang serba kaca di luarnya.
Gue kacau. Gue gak bisa berhenti nangis ngingat apa yang terjadi hari ini. Ini semua terasa gak nyata.
30 menit kemudian...
Gue berharap ibu baik-baik aja.
"IBU?" gue terkejut saat melihat ibu berdiri tepat di hadapan gue sekarang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, gue langsung meluk dia. "Ibu jangan pergi. Ibu sayang Nara kan? Jangan tinggalin Nara sendiri, uh? Nara cuma punya ibu." Ibu melepaskan pelukannya, membuat gue menatapnya bingung.
"Ibu tak pernah meninggalkanmu, sayang. Ibu akan selalu berada di sampingmu. Tapi, untuk saat ini... Kita berhenti bertemu dulu. Tuhan menyayangi ibu, itulah kenapa dia memanggil ibu sekarang." kata ibu yang berhasil mecahin tangisan gue. Mendengar menuturan ibu gue semakin kacau balau.
"
Gak. Ibu gak boleh pergi. Nara gak ingin ibu pergi. Jangan ninggalin Nara sendirian, Nara cuma punya ibu satu-satunya." isakan gue semakin kenceng, gue gak peduli orang-orang yang natap gue aneh dari tadi.
"Maafkan ibu. Ibu harus pergi sayang. Jaga dirimu baik-baik, ibu menyayangimu." Ibu berjalan mundur semakin jauh dan menjauh dari gue. Gak lama setelah itu, tubuhnya mulai tak terlihat lagi.
"GAK BUK. IBU GAK BOLEH PERGIIIIIII. HUAAAAAA... " Ibu tetap pergi meski gue udah teriak melarangnya. Gak lama kemudian, Dokter keluar dari ruangan itu.
Gue cuma bisa natap dokter itu dengan penuh air mata. Dokter itu ngedeketin gue...
"Maafkan kami. Ibumu sudah..." kata dokter itu sembari menggelengkan kepalanya. Ucapan Dokter barusan ngebuat kaki gue lemes seketika. Gue berlutut di lantai dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi.
Dokter itu ikut berlutut di hadapan gue. Dia terus mencoba nenangin gue dengan mengatakan bahwa kepergian ibu bukanlah akhir dari segalanya. Dia bilang kalau Ibu selalu di samping gue sampai kapanpun dan di manapun gue berada.
Tapi tetep aja... Gue gak punya siapa-siapa lagi selain ibu disini. Gue gak bisa ngebayangin hidup gue tanpa ibu.
Dokter itu ngangkat bahu gue untuk duduk di bangku tunggu. "Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya.
Ayah? Gue bahkan hampir lupa wajah ayahku sendiri. "Ayah pergi meninggalkan kami." Dokter itu menghela nafas panjang, terlihat jelas bahwa dia terharu dengan kisah hidup gue.
Ayah emang pergi sejak gue kelas 3 SD. Katanya dia bosen sama rumah tangga kita yang gitu-gitu aja, dia juga malu karena gue selalu jadi bahan gunjingan orang-orang. Itu sama artinya dengan ayah ngebenci anaknya sendiri kan?
Itulah alasan kenapa gue gak pernah ngomongin ayah. Karena gue benci sama dia.
Gak lama kemudian, "Ini buatmu... Dari ibumu." ucap dokter tadi menyodorkan sebuah cake dan boneka pinguin favoritku. Gue nyoba untuk gak nangis lagi dengan ngelap air mata gue.
Gue natap dokter itu lama tanpa mengambil apa yang dia berikan. "Ibumu yang memberi tahu petugas Ambulance tadi untuk memberikan ini padamu." jelasnya.
Flashback
(Author POV)
Ibunya Nara sengaja membeli kue ulang tahun dan hadiah berupa boneka penguin kesukaan anaknya sebelum anaknya pulang sekolah.
Saat ingin menyebrang jalan, sebuah truk terlepas kendali dan menabrak ibu Nara sampai terpental jauh. Kue ulang tahun dan boneka itu juga terlepas dari tangan ibu Nara. Kuenya hancur hanya tersisa boneka yang masih terbungkus plastik dengan sebuah stik note di atasnya.
Meski sudah berlumuran darah, ibunya masih sadar "Pak... Tolong-- berikan...boneka itu...untuk anak saya. Dan juga... Berikan dia...kue...ulang tahun. Hari ini...adalah hari...ulang...tahunnya. Tolong--" setelah mengucapkan kalimat yang terpotong-potong tadi, ibunya tak sadarkan diri lagi.
Flashback end
Mendengar penjelasan Dokter itu, Nara kembali menangis. Kemudian meniup kue ulang tahun itu dan mengambil boneka penguin tadi. Kemudian di peluknya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who are you? | Hwang Hyunjin
FanfictionIni bukan sekedar halusinasi, tapi dia memang benar-benar ada.