Razi terbangun malam itu. Seluruh penghuni kamar masih tertidur kecuali dirinya. Jam di dinding menunjukkan angka dua. Entah kenapa malam itu rasa sedih merasuki hatinya tanpa sebab, dia turun dari ranjang dan mengambil air wudhu di kamar mandi yang remang-remang karena hanya diterangi dari lampu luar.
Malam itu agak lain, biasanya Razi hanya shalat tahajud tiga rakaat termasuk witir, tetapi kali ini dia merasa butuh sujud lebih lama dan lebih banyak hingga sebelas rakaat. Di sujudnya yang terakhir, matanya basah mendoakan Bapak kandungnya, Abah, Emak, dan kelima adiknya yang sangat dia sayangi. Tak lupa dia menyebut beberapa nama termasuk Babeh Anshar, Koh David, Koh Ahong dan Tami, dia bermunajat kepada Allah semoga niat baiknya untuk membina rumah tangga bersama putri Pak Michael diterima.
Rasa sedih masih kuat terasa walaupun shalatnya sudah selesai, dia membuka aplikasi Alquran di handphonenya dan membacanya hampir tanpa suara supaya tidak terdengar oleh teman-temannya, tetapi ternyata ada penghuni lain yang sudah terbangun dari semenjak Razi mengambil air wudhu.
"Psst, Bang."
Razi agak kaget, ternyata Alsa yang terbangun,
"Kaget gue, kenapa Sa? kebangun karena gue ya? maap" Razi menutup aplikasi Alqurannya,
"Nggak Bang, emang lagi gak bisa tidur, Bang, boleh cerita gak?" Kata Alsa dengan suara berbisik,
"Ooh boleh aja, tapi mending lo solat dulu." Razi melipat sajadah dan sarung yang dia pakai, Alsa bergegas ke kamar mandi. Setelah wudhu dan shalat, mereka berdua keluar ke belakang asrama yang berhadapan dengan hutan kecil dan sungai berbatu selebar dua meter."Soal orang tua lo lagi, Sa?" Tanya Razi sambil membersihkan lantai sebelum duduk,
"Sebenernya enggak sih Bang, lebih ke tentang gue sendiri." Alsa lalu bercerita panjang lebar tentang dirinya yang dijodohkan oleh orang tuanya. Bukan kali pertama Alsa bercerita seperti ini, tapi hanya Razi yang bisa menjadi pendengar sekaligus pemberi saran terbaik. Sudah banyak permasalahan internal keluarganya yang berhasil dia selesaikan berkat saran Razi, jika sedang pulang ke rumah, selalu nama Razi disebut sebagai kakak angkatnya di pesantren,"Gitu Bang, bingung nih, ambil tawaran ortu apa nyari sendiri." Kata Alsa mengakhiri ceritanya,
"Gini Sa, masalah jodoh sebenernya kayak lo masuk ke hutan itu, gelap. Tapi lo gak bakal tau sebelum coba." Razi meluruskan kakinya yang kesemutan, "Karena gelap itu, lo juga gak tau kan orang yang bakal disandingin sama lo ini pas apa nggak? coba aja kenalan dulu, kalau semisal cocok ya lanjut, kalau nggak ya cari yang lain."
"Kalau orang tua gue maksa gimana, Bang?" Tanya Alsa,
"Yaaa lo kasih penjelasan bahwa urusan rumah tangga beda sama urusan sekolah. Entar lo bakal berdua terus sama orang yang bener-bener baru di hidup lo, kalau dari awal udah gak satu frekuensi, repot jadinya, dan kalau nanti ada masalah, lo pasti gak mau kan entar ujung-ujungnya nyalahin orang tua."Bener juga sih, batin Alsa, dia lalu bercerita hal-hal lain hingga yang paling simple dan Razi tetap setia mendengar hingga adzan subuh berkumandang. Mereka berdua langsung bersiap-siap untuk ke masjid. Tak lupa Alsa berterima kasih kepada Razi yang telah mendengar segala keluhannya,
*********
Seminggu kemudian,
-Assalamualaikum Raz, mabruk, ta'aruf antum diterima. Antum
bisa bawa keluarga ke rumah Tami untuk khitbah-Whatsapp dari Koh David pagi itu seharusnya membuat Razi bahagia, tetapi sikap Emak minggu lalu membuat Razi bingung. Sudah beberapa kali dia bicara baik-baik tapi Emaknya tetap teguh pada pendirian. Razi akhirnya mengutarakan masalah ini ke Babeh Anshar setelah shalat dhuhur.
"Mending lu pulang dulu Din ke Garut, temui beliau, ngomong baik-baik. Mungkin beliau cuma kangen sama lu." Saran Babeh Anshar, usul
itu pun diterima, Razi minta izin untuk pulang beberapa hari ke Garut. Tak lupa pula untuk izin ke Koh Ahong karena ada jadwal shift di restoran untuk minggu ini.