Prolog

23 13 17
                                    

Langit terlihat begitu indah, berwarna biru cerah, dengan awan yang perlahan berpindah.

Aku sangat menyukai suasana ini, alam yang membuat ku menjadi tenang, hijau pepohonan begitu memukau, air mengalir menimbulkan kesan suara yang menarik.

Aku baru pindah dari Ibu kota Jakarta ke sini, Bandung. Dari dulu cita-cita ku adalah tinggal di pedesaan dekat rumah nenek, dan kabar baiknya, sekarang cita-cita itu terwujud. Aku sangat bahagia, karena aku sangat menyukai alam.

Kata Ayah, aku mirip seperti almarhum ibu, yang pecinta alam, suka berpetualang juga.

Iya, ibu ku meninggal saat umurku menginjak 5 tahun, karena penyakit asma yang dideritanya. Penyakit itu turunan, dan penyakit itu pun turun pada ku.

Aku sama sekali tidak menyalahkan penyakit turunan ini, justru aku bersyukur, karena dengan penyakit ini aku dan ayahku selalu mengingat ibu, dan ketika aku rindu, asmaku pasti kambuh, itu lah aku, Zilya.

***
Pekerjaanku sudah selesai, seperti orang-orang kebiasaan, ketika pindah rumah, pasti harus beres-beres dan menata barang-barang bukan?

Rasanya lelah dan penat juga, jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan.
Di sini, rumah ku dengan tetangga cukup dekat, tapi tidak sampai kalau hanya lima langkah, mungkin sekitar 5 meter jaraknya.

Sekarang sudah sore,sekitar jam 5, aku menatap langit yang sudah remang-remang berwarna jingga, sangat cantik, tapi tenang, masih cantik aku ko.

Rumah itu lucu, apalagi pager kayu dan ukirannya menimbulkan kesan manis.
Ku lihat ada seorang nenek yang sedang menyiram tanaman, ternyata bunga. Bunganya terlihat sangat terawat dan warna-warni, sangat asri dan indah.

"Bade ka mana cu?" tanya nenek itu padaku. *Mau kemana nak?*

Aku mengerutkan kening tidak mengerti, meskipun nenek dan kakeku tinggal di sini, mereka jarang menggunakan bahasa daerah, jadi wajar, kalau aku kurang mengerti.

Aku menghampiri nenek tersebut yang tengah tersenyum padaku.

"Eh nenek lagi apa?" Tanya ku basa-basi, konyol memang, sudah tahu lagi nyiram tanaman lah ini, aku nanya.

Dan di lanjut mencium punggung tangannya.

"Oh kamu tidak mengerti bahasa daerah?" Tanyanya lagi.

"Iya nek hehe." Balasku nyengir.

"Nenek suka merawat tumbuhan nak." Ucapnya. Aku hanya munggut-munggut. "Kamu pindahan ya? Soalnya saya baru lihat." Lanjutnya.

"Iya nek, kebetulan saya mengidap penyakit pernafasan, jadi lebih baik tinggal di pedesaan dari pada perkotaan."

Curhat ya Zil? Ucapku dalam hati.

"Yowes, bagus itu, jadi paru-paru mu tidak ternodai," ucapnya sambil tertawa renyah.

"Ayo masuk dulu,  kita minum teh buatan simbah enak loh, oiya,panggil nenek simbah aja ya." Nenek itu pun masuk ke dalam kediamannya, aku pun mengangguk dan mengikuti oleh nya.

"Silahkan duduk dulu, beginilah gubuk simbah, jangan jijik ya." Nenek itu merendah, dan pergi meninggalkan ku, memasuki ruangan, sepertinya dapur.

Rumah ini modelnya seperti rumah tahun 90-an, pintunya tidak neko-neko, jendelanya besar-besar, gordennya hijau tua polos, terdapat kursi untuk tamu terbuat dari kayu jati yang di ukir. Tidak ada vas bunga, yang ada adalah ember yang di sulap menjadi vas cantik, di dalamnya terdapat rangkaian bunga plastik. Dindingnya, putih polos, lantainya tidak di ubin, hanya semen, namun ketika kaki kita menginjaknya, akan ada sensasi yang beda, dingin dan sejuk yang unik. Di dalam rumah ini terdapat beberapa ruangan, aku juga tidak tahu pasti, namun di setiap ruangan ada yang berpintu ada yang tidak, kalau yang tidak, berarti menggunakan gorden hijau tua polos.

Rumah ini sederhana namun nyaman.

Nenek itu kembali lagi dengan membawa nampan yang berisi 2 cangkir, sepertinya teh yang di ucapkannya tadi.

"Ayo dek, diminum," ucapnya tersenyum

Aku mengangguk dan meminumnya perlahan. ISTIMEWA adalah kata yang pas untuk teh tawar ini, biasanya teh itu rasanya hambar dan kurang enak. Tapi ini beda, rasanya tawar,namun ada sensasi harum yang membuat kita nyaman dan terasa lembut.

"Oiya, nama simbah siapa?" tanyaku.

"Simbah Lisa, kalau kamu?"

"Aku Zilya."

"Wah nama yang cantik," pujinya.

Aku tersenyum."simbah juga namanya cantik tau." aku juga ingin memujinya.

"Wah, udah sore simbah, aku pulang dulu ya, takut kemalaman." Aku pamit, karena aku lapar.

"Tidak apa-apa, nanti kamu diantar cucu simbah kalau mau pulang."

"Ah tidak perlu, takut merepotkan." 

Aku sudah lapar, lanjutku dalam hati.

"Yasudah, besok ke sini lagi, simbah kenalkan dengan cucu simbah," ujarnya.

"Iya simbah, permisi." Aku berdiri dan mencium punggung tangannya, dan pergi ke kediamanku.

Kalau lama-lama aku takut hidungku memerah, malu rasanya kalau belum terbiasa dengan orang asing itu.

***

Setiap aku berada di luar, aku selalu ingin menatap langit, beruntung langitnya sangat cantik, sayu-sayu jingganya nampak jelas, dan aku suka.

Kini aku menyusuri jalanan untuk pulang, di sini jalannya tidak ramai, karena bukan kota, hanya ada beberapa yang melintas, di sisi jalan juga menggunakan pagar dari kayu, soalnya ada sungai kecil yang mengalir.

Bruk

Aku terjatuh, karena terlalu menikmati suasana desa ini, sedikit sakit, posisi jatuhku sangat tidak cantik, aku kini seperti berbaring namun ke arah samping, dan kaki ku terlipat.

Saat aku akan bangun, ternyata ada orang yang mengangkat tubuhku lebih cepat.

"Lepaskan!" Aku sedikit berteriak karena tidak suka ada yang menggendong ku sembarangan.

"Saya hanya ingin membantu anda," ucapannya terlalu formal, mungkin seorang guru bahasa, tebak ku.

Aku melihat wajahnya, sepertinya dia tinggi, karena aku tidak melihat tubuhnya, matanya sedikit tajam, bibirnya cukup tipis dan alami, hidungnya lumayan mancung, rambutnya terlihat sedikit acak-acakan, menambahkan kesan cool.

Stop! Gak usah muji dia, siapa dia? Nyebelin banget!

"Lo mau bawa gue kemana, rumah gue di sana." Aku kesal, dan takut, bagaimana kalau dia mau nyulik? Atau lebih parah dari itu? BIG NO!

"Lepasin ih udah mau malem, kaki gue gak terlalu sakit ko." Dia hanya diam dan menutup mulut,gimana gak semakin kesal. Orang menjengkelkan!
.
.
.
.

1 Januari 2019

°•Asa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AURANTIASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang