Namun perpisahan selalu bercerita tentang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan
Malam semakin menua, ubin-ubin kamar nan putih pun semakim dingin untuk dipijaki juga udara basah dari hujan yang tak kunjung reda di luar jendela, dan Bunda, masih hanyut dalam lelapnya ditemani jarum infus yang menancap pada arteri pergelangan tangan.
Dua minggu berlalu, kondisi Bunda masih sama seperti hari kemarin, nafsu makannya juga semakin menurun, Bunda sudah menderita anemia sejak dulu bahkan seringkali saat datang bulan harus menerima transfusi darah, dan dua minggu yang lalu dokter mengatakan Bunda terinfeksi malaria.
Aira selalu ada disamping Bunda walau tidak 24 jam penuh karena ia masih harus sekolah, tapi teman Bunda selalu ada saja yang datang untuk menemani Bunda.
"Ira?"
"Iya Bun, Bunda butuh apa?"
"Tolong ambilkan minum Bunda, Ra"
Aira mengansurkan sebuah gelas air putih hangat untuk Bunda
"Bunda mau ngasih tugas berat untuk Ira, Ira mau?"
Aira mengerutkan kening, jujur sebenarnya Aira tidak suka tugas berat.
"Apa tugasnya Bunda?"
"Bantu Ayah dan Abangmu, bantu mereka untuk meyakini keyakinan kita"
Aira tidak langsung menyahut, permintaan Bunda memang berat, ia hampir tidak pernah bertemu lagi dengan Ayahnya kecuali saat Ayah berkunjung dan itu pun Ayah hanya berbicara dengan Bunda tanpa melibatkannya. Abangnya? Ia bahkan tidak pernah berkunjung, Aira menduga mungkin karena jarak antara ia dan Abangnya berbatas negara atau jarak antara keyakinan yang berbeda.
Bunda dan Ayah memang menganut keyakinan yang berbeda, Bunda seorang muslim dan Ayah penganut Katolik, saat menikah dulu Bunda ikut agama Ayah, namun sepuluh tahun yang lalu Bunda memutuskan untuk kembali bersyahadat dan kembali memeluk Islam, jelas semua keluarga Ayah menantangnya kendati kealuarga Ayah adalah keluarga yang taat dan tidak dapat menoleransi Bunda, sejak itu pula Bunda menyatakan ingin berpisah dengan Ayah dalam artian cerai tapi Ayah tidak pernah mengabulkannya, sehingga Bunda memutuskan untuk pindah ke Malaysia membawa Aira dan meninggalkan Aksa dengan sang Ayah.
"Ira, kenapa melamun? Apa terlalu berat?"
Aira mengangguk lesu, segala kemustahilan sudah muncul dikepalanya, bagaimana ia dapat melakukannya sedangkan tujuh tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia berbicara dengan Ayah dan Abangnya.
Bunda tersenyum lembut melihat kerutan di kening Aira, seakan tahu tentang peran batin yang dialami Aira, Bunda memegang tangan Aira berusaha menyalurkan semangat.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama Allah punya kuasa, karena kuasa Allah tidak sesempit pemikiran kita, kemustahilan yang kita yakini bisa Allah hancurkan hanya dengan 'Kun Fayakun'.
"Tapi Bun..."
"Allah Maha membolak-balikkan hati manusia Nak."
Bunda memberikan senyum yang amat meyakinkan, walau masih belum cukup untuk meyakinkan Aira.
"Pokoknya Bunda serahkan semua padamu ya Ra."
"Kenapa nggak Bunda aja, kenapa bukan Bunda aja yang meyakinkan Ayah dan Abang? Bunda lebih mampu daripada Aira."
Bunda memalingkan wajah kearah jendela memandang gulita yang masih bersekat hujan dengan pandangan sendu dan senyum lembut yang kembali terbentuk di bibirnya, hening sedikit lama.
"Bunda mau istirahat Nak."
Aira pun beranjak dari duduknya dengan cekatan ia membantu Bunda untuk berbaring yang semula duduk dan menyelimutinya.
"Selamat malam Bunda, Ira sayang Bunda"
Aira mengecup kening Bunda sekilas
"Bunda juga sayang kamu Nak."
Bunda balas mengecup kening Aira lama.
Yang kemudia tidak pernah Aira sangka itu adalah kecupan terakhir Bunda sebelum Bunda pergi bersama fajar yang membawa mentari menuju abadi.
TBC
Minta dikomen boleh nggak :)
Padang 01/01/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Closer
Teen FictionKisah empat orang anak manusia yang masing-masing menyembunyikan luka tanpa kata. Saling menunggu untuk bersuara, saling menggenggam dalam udara.