Namun semua butuh waktu walau hanya untuk menata hati yang pilu
Aira masih termangu di depan pusara Bunda, atas permintaan ayah jenazah Bunda dipulangkan ke Indonesia dan dimakakamkan di TPU muslim yang dekat dengan rumah, Aira tidak keberatan karena ia pun akan menetap di Indonesia bersama ayah dan kakaknya.
Aksa Mahawira berdiri agak jauh dibawah pohon rindang di tepi jalan, menatap kosong selama proses pemakaman, namun begitu Aira masih belum sempat menyapanya karena ia ikut andil dalam proses pemakaman, juga mungkin karena ia masih mengumpulkan keberanian untuk sekedar memperkenalkan diri, karena tujuh tahun berpisah bukanlah waktu yang singkat untuk langsung menjadi akrab apalagi dengan wajah Aksa yang terkesan dingin membuat keberanian Aira ciut begitu saja.
Satu persatu pelayat mulai undur diri meninggalkan Aira dengan air mata yang belum sempat mengering sejak pagi tadi dan tentu saja Ayah juga masih betah berjongkok di depan makam Bunda, walau tidak ada air mata yang mengalir Aira tau pasti kesedihan ayah juga sama dengannya hanya saja ayah berusaha bersikap tegar di depan Aira.
"Ayo Ra, kita pulang." Ayah menggenggam tangan Aira membawanya ikut bersama ayah ke tempat Aksa yang telah duluan menunggu di dalam mobil, tidak ada percakapalau an setelah itu, hening, tidak ada yang membuka obrolan, rasa sedih, suram, dan canggung seolah mengudara menjelma menjadi gas, kabut, udara atau apapun itu, namun dalam keheningan tersebut Aira sadar sekali-kali Aksa meliriknya berusaha mencuri-curi pandang dari kaca depan, ia hanya ingin meyakinkan diri bahwa gadis yang duduk di jok belakang adalah adik kandungnya walau waktu tujuh tahun cukup mengubah fisiknya sehingga mungkin agak susah dikenali jika kebetulan mereka bertemu di luar.
Pemandangan pepohonan dan rumah silih berganti yang berlari ke belakang menjadi pemandangan yang terus menerus dilihat Aira sebelum mobil memasuki kompleks perumahan dengan jejeran rumah bertingkat. Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah yang cukup familiar bagi Aira, rumah yang sempat ditempatinya dulu saat keluarganya masih bersatu.
Masih sama, taman bunga didepan rumah masih sama seperti saat bunda mengaturnya dulu, semua bunga masih terletak pada tempatnya seperti tujuh tahun yang lalu seakan mereka tidak pernah tersentuh.
*
Aksa tidak pernah menyangka bahwa wanita yang amat ia cintai akan pergi begitu cepat, tanpa aba-aba. Tujuh tahun lalu saat Bunda pergi meninggalkan Aksa ia sudah mencoba untuk membencinya. Ia berkali-kali mensugesti diri untuk tidak lagi menyimpan rasa pada wanita yang lebih memilih pergi meninggalkannya tujuh tahun lalu tapi ia selalu kembali ke tempat yang sama, tempat dimana dia amat mencintainya. Namun Aksa tidak pernah lagi mau berharap bahwa suatu hari nanti Bunda akan pulang padanya dan mungkin memberikan kasih sayang yang bertahun-tahun hilang, tapi tentu saja hatinya tidak bisa memungkiri bahwa ia masih berharap bahkan diumurnya sekarang, dihari ini dan detik ini ia sangat ingin merasakan kasih sayang dan dekapan sang Bunda, berkali-kali pula dulu ia ingin mencoba menyapa Bunda saat ia dan Ayah ke rumah Bunda namun berkali-kali pula ia gagal dan berakhir dengan hanya menunggu di dalam mobil melihat Bunda dan Ayah dari kejauhan.
Sampai hari kemarin, dunianya seolah runtuh saat Ayah dengan wajah sendunya mengatakan bahwa Bunda telah tiada, ia mulai mengumpulkan semua penyesalan-penyesalannya, semua hari yang terlewati tanpa keberanian darinya untuk menyapa Bunda.
Lamunan Aksa buyar ketika Ayah membunyikan klakson mobil dan memasuki gerbang rumah.
"Hari ini kamu istirahat aja dulu Ra,besok kita urus kepindahan sekolah kamu, Aksa anterin Aira ke kamarnya ya"
Aksa hanya mengangguk, dan berlalu ke lantai dua, menoleh sesekali, memastikan Aira mengikutinya
"Ini kamar lo, kamar mandinya ada didalam"
Hanya itu percakapan Aksa, walau tidak bisa dibilang percakapan karena hanya Aksa yang berbicara dan ia langsung berlalu ke kamarnya yang teletak bersebelahan dengan kamar Aira.
Sebelumya, Aira memang belum sempat pulang kerumah ini, ia menginap di salah satu rumah warga muslim dekat dengan komplek pemakaman ikut mengurus jenazah Bunda, dan sekarang ia telah pulang, kembali ke rumah tempatnya lahir dimana ia belajar merangkak dan berjalan, rumah dimana ia belajar memanggil Ayah, Bunda dan Abang, rumah bahagia keluarganya dulu, namun sekarang ia pulang tanpa Bunda,karena Bunda telah pulang ke tempat lain, pulang ke tempat dimana Aira tidak bisa ikut dengannya. Aira menghapus air matanya dengan cepat saat tahu ia kembali menangis.
*
Sedangkan Aksa mondar-mandir dikamarnya, entah mengapa ia merasa kamarnya lebih sunyi dari biasanya, bukan sunyi yang biasa dinikmatinya namun sunyi yang mencekam dan mencekiknya, bahkan oksigen dalam kamar rasanya kurang cukup untuk dia bernafas padahal jendela kamar telah ia buka lebar-lebar. Aksa mengambil handphone dan memutuskan untuk menghubungi seseorang.
"Dimana lo?"
"Gue kesana sekarang"
Aksa bangkit mengambil kunci motor dan jaket abu-abunya ia harus meninggalkan kamarnya, setidaknya untuk saat ini.
Aksa sampai di depan sebuah swalayan.
"Bang Aksa. Datang lagi?"
"Iya Bim, gue langsung ke atas ya"
"Sip. Bang Zain juga udah diatas kok"
Bima. Kasir swalayan yang sudah amat mengenali wajahnya, karena ia sering berkunjung kesini, sebenarnya Bima masih terlalu muda untuk bekerja ia masih kelas 3 SMP, namun tidak semua orang punya kehidupan yang mudah, nyatanya ia harus banting tulang untuk membiayai sekolahnya sendiri. Aksa bergegas menuju lantai dua, lalu naik ke rooftop.
Aksa dapat melihat Zain disana, berbaring diatas matras dan menutup wajahnya dengan buku, namun ia masih memakai seragam sekolahnya, sepertinya ia sudah disini sejak pulang sekolah.
Aksa ikut mengambil tempat di samping Zain dan berbaring menjadikan tangannya sebagai bantal dan memandang langit yang masih sendu.
"Kenapa lo gak masuk hari ini?"
Aksa menghiraukan pertanyaan Zain, ia masih betah menatap langit.
"Ada masalah?"
Hening sebentar.
"Med, gue pinjam buku"
Aksa langsung menarik buku yang sebelumnya berada di atas wajah Zain dan menutup mukanya sendiri
"Ck, berapa kali sih gue bilang jangan panggil gue dengan nama itu"
Zain baru saja ingin melontarkan kekesalannya yang lebih panjang namun terhenti saat ia melihat bahu Aksa yang bergetar dan matras di samping kepala Aksa yang telah basah, ia menghela nafas panjang dan kembali memandang langit.
"Gue maafin deh hari ini, kayaknya hari ini sama-sama bukan hari yang bagus buat kita"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Closer
Fiksi RemajaKisah empat orang anak manusia yang masing-masing menyembunyikan luka tanpa kata. Saling menunggu untuk bersuara, saling menggenggam dalam udara.