Prolog
Pemuda dengan surai hitam itu tengah menangis memeluk kedua kakinya. Danau yang tenang dan malam yang kelam seakan menjadi saksi bisu kehilangan seseorang yang amat ia sayangi. Seseorang yang mengisi ruang dihatinya sejak satu tahun yang lalu. Kekasih pemuda itu meninggal beberapa hari yang lalu dan tepat hari ini adalah anniversary mereka.
Masa depan yang tersusun sempurna, kini hanya tinggal angan. Janji yang mereka buat pun seakan berlalu layaknya asap yang membumbung diangkasa. Layaknya kaca, hatinya sudah luluh lantak tak beraturan. Harapan untuk bersama telah terpisahkan oleh maut. Sang kekasih diambil sang pencipta karna salahnya. Karna tangannya sendiri. Jika ia tak mengajak kekasihnya berlibur hari itu pasti ia masih bersamanya sekarang.
Orang terdekat dan orang tua kekasihnya sudah berkata bahwa semua ini bukan salahnya. Semua telah diatur sedemikian rupa oleh sang pencipta. Rezeki, jodoh, dan maut telah diatur sang pencipta dan tak ada yang tau kecuali diri-Nya. Manusia harus menerima ketiganya dengan hati yang iklas.
Pemuda itu masih menangis tanpa suara.danau yang menjadi pelariannya saat ini adalah tempat ia biasanya berkencan dengan kekasihnya itu. Danau dengan taman nan apik dan rapi ini menyimpan berbagai kenangan bersama sang kekasih. Potongan memori kebersamaan mereka seakan terputar kembali dalam ingatan.
Hujan mulai turun membasahi bumi. Aroma khas yang dihasilkan terasa sangat menenangkan. Pemuda itu tetap diam ditempatnya. Tak mempedulikan air hujan yang jatuh dan hawa dingin yang menusuk tulang. Hujan seakan ikut kalut dalam kesedihannya. Untuk terakhir kalinya ia mencoba mengikhlaskan kepergian kekasinya untuk selamanya.
"Kamu nggak kedinginan?" Tanya gadis berkuncir kuda yang tengah mengenggam ganggang paying dan kantung plastik putih. Tang sengaja gadis berkunci kuda itu mendapati sosok pemuda yang meringkuk ditepi danau setelah membeli beberapa camilan di supermarket dekat taman. Yang ditanya tak kunjung menjawab. Ia hanya diam tak mau menatap seseorang yang mengajaknya bicara. Merasa diabaikan gadis itu menggoyangkan bahu pemuda itu. "Kalo ditanya dijawab dong!" Kesalnya.
Gadis itu menghela napas panjang, melepas sweeter yang ia kenakan dan dan menutupi punggung pemuda itu agar terasa hangat meski pemuda itu sudah basah kuyup. "Ya sudah kalau tak mau menjawab, aku pulang. Ini paying dan beberapa susu kotak mungkin bisa menenangkanmu." Gadis itu menyerahkan payungnya digenggaman pemuda itu secara paksa. "Cepat pulang, pasti orang tuamu mencarimu. Jangan lupa diminum susu kotaknya. Aku permisi." Setelah pamit, gadis itu pun berlari menerobos rintik hujan yang cukup lebat dengan berpayung kedua tangannya.
Setelah kepergian gadis itu, pemuda itu mendongakkan kepala melihat paying yang tengah menghalau hujan agar tak membasahi tubuhnya. Dilihatnnya payung transparan bergambar beruang melingkar ditepi paying itu dengan tatapan datar. Setelah itu pandangannya teralih pada plastic putih di sebelah kakinya dan memeras lengan sweeter yang menjuntai dari atas pundaknya. Pemuda itu membuka kantung plastik dan menghabiskan semua susu vanilla itu.
"Mati satu tumbuh seribu." Gumannya pelan. "Ren... beritahu gua siapa yang ngasih semua ini." Tatapannya tertuju pada lengan sweeter dengan inisial A.F itu. "Gua bakal cari lo."
-----
Next gak nih?
YOU ARE READING
Moonlight
Teen FictionSetelah kehilangannya, dunia ini terasa berbeda. Seperti bumi yang kehilangan matahari, hidupku gelap gulita. Semua terasa sangat hampa. Baca dulu siapa tau suka.