"El, kok rasaku ada yang buntutin kita dari tadi ya?" ucap Gigi sambil mengusap lengan atasnya yang sepertinya untuk meredakan rasa merinding.
Mereka sedang berjalan menuju kelas melewati lapangan.
"Ah, perasaan lo aja kali," ucap Gabrielle bodo amat.
"Eh, tapi rasaku juga iya sih," akhirnya Gabrielle merasakan yang sama dan di jawab muka datar dari Gigi, spesial untuk temannya yang plin-plan ini. Siapa lagi kalo bukan Gabrielle labil tersayang.
"Dari tadi kayaknya cowok itu buntutin kita," Gigi berucap serius.
"Kalo aku ngerasa malah bayangan kita lagi buntutin kita," Gabrielle tak kalah serius. Tapi muka dan ucapannya doang. Niatnya sih nggak.
Seriously? Gigi masih dengan tatapan serius dan dia masih mencerna kalimat yang dilontarkan oleh Gabrielle. Dan Gabrielle hanya cekikikan nggak jelas.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Gigi menampol pipi Gabrielle. Dan Gabrielle tertawa keras.
"HAHAHAHAHAHA. ADUH MAAK, ANAK SIAPA INI YANG OTAKNYA TERSENDAT. HAHAHA," Gabrielle semakin tergelak sambil memegangi perutnya yang sakit.
Sementara Gigi sedang setia dengan muka datarnya. Hingga saatnya Gabrielle berhenti tertawa.
"Ih Gii, jangan marah yaa. Ih jangan marah, aku canda doang kok. Ntar kalo cemberut terus mukanya tambah keliatan tua," Gabrielle berusaha membujuk Gigi yang masih ngambek.
"Hmm," hanya gumaman yang Gabrielle dengar dari mulut Gigi.
Tapi, setelah mereka sampai di lorong kelas XI, Gabrielle baru merasakan kalau yang diucapkan Gigi benar. Ia melihat seorang anak laki-laki membuntutinya. Itu terlihat jelas di kaca jendela setiap kelas.
Anak laki-laki itu tampak berjalan seperti biasa. Tidak, tetapi dia berjalan diantara keramaian siswa dan siswi kelas XI yang sedang memanfaatkan jam istirahat.
Anak laki-laki berjalan dengan saku yang dimasukkan kedalam dua saku yan terletak di bagian samping di celana panjangnya. Matanya jeli mengamati setiap pergerakan dia dan Gigi.
Saat Gabrielle menoleh ke arah anak laki-laki itu, anak laki-laki itu langsung melempar pandangannya ke arah lain.
Itu terlihat begitu jelas di penglihatan Gabrielle. Laki-laki itu sangat mencolok walaupun tinggi tubuhnya hampir sama dengan yang lainnya. Mungkin sekitar 180 cm.
Rambut agak berantakan mungkin karena terkena terpaan angin, kulit agak gelap, jaket loreng-loreng kayak tentara, dan mata coklat terang.
"Gi, cepetan deh ke kelasnya," Gabrielle menengok ke arah Gigi dengan perasaan merinding.
"Hmm?" Gigi celingukan bingung tetapi terus melanjutkan jalannya.
Sesampainya di kelas, Gabrielle langsung duduk di bangkunya dan menghembuskan nafas lega. Seperti habis dikejar setan.
Dan Gigi? Dia menuju kelasnya sendirian. Masih bingung dengan sikap Gabrielle tadi.
"Haylaah. Kampret lah itu orang. Nakut nakutin aja," rutuk Gabrielle ditengah-tengah nafas ngos-ngosannya. Padahal dia enggak lari.
"Kenapa Gab?" tanya Adam yang sudah berdiri didepan Gabrielle dengan dua cup es teh di tangannya. Gabrielle memandang ngiler es teh itu.
Melihat pandangan Gabrielle yang tertuju pada es teh dikedua tangannya, seperti ada alarm—Adam menawarkan salah satu es tehnya itu dengan menyodorkan sebelah tangannya ke arah Gabrielle berniat menawarkan.
Terlihat binar bahagia di bola mata Gabrielle. Dan Adam menyukai itu. Itu membuatnya seolah ingin selalu tersenyum.
"Bener?" tanya Gabrielle antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not Me?
Teen FictionKita berjalan bersama. Kita berlari bersama. Kita juga menangis dan tertawa bersama. Tapi, kita tidak pernah benar-benar "bersama" Aku tengah mencoba bernafas, ketika kamu mengatakan "Aku tidak memilihmu" Aku kuat, dan aku memang seharusnya baik-bai...