Part 28

3.3K 211 12
                                    

"Ada apa ini, kok pagi-pagi sudah meriung di sini ?" Ahmad menghentikan laju sepedanya, menyapa kerumunan bapak-bapak yang berkumpul di tepi badan jalan. Beberapa meter dari rumahnya.

"Oh.. Nak Ahmad, kami sedang menikmati udara pagi." Jawab seseorang dari mereka.

Setelah Ahmad pamit, mereka mulai riuh lagi.

"Aku curiga. Kejadian semalam ada kaitannya dengan peristiwa buruk yang sering terjadi akhir-akhir ini."

"Benar. Sesuatu yang buruk pasti akan menimpa desa kita lagi."

"Memangnya kau tidak lihat perilaku Ahmad tadi, barusan dia lewat dengan senyuman. Tidak terlihat sedikitpun kalau ia tegang dan ketakutan. Seperti kamu-kamu ini."

"Kau tidak ada di musholla tadi malam. Jadi bisa bicara seenaknya. Seandainya kau yang ada di sana. Sudah kencing di celana."

"Betul. Anakku dan anak kang Dasim sampai meriang. Mereka sama-sama diweruhi setan."

"Siapa yang diweruhi ? Anakmu ? Jadi sekarang anakmu sakit, apa- setan apa yang ia lihat ?"

"Tidak jelas. Anakku meracau terus. Badannya panas. Ia hanya mengatakan kalau di musholla ada setan dan ia tidak mau mengaji lagi."

"Astaghfirullah..."

Sejurus kemudian mereka semua yang jumlahnya ada lima orang terdiam.

***
Dua orang sedang berbincang di kamar utama. Di kediaman Raden Kerta Kesuma.

"Kalau ada yang harus khawatir, itu aku. Bukan kamu Den. Seperti yang kau lihat, saat ini aku baik-baik saja. Tidak kurang suatu apa. Tapi kamu..." Kalimat Sigit menggantung.

"Ah... iya. Aku lupa. Kamu ini kan Sigit, bocah sakti mandraguna. Kau tidak pernah gentar melawan bahaya." Semringah Raden dibuatnya.

Pertemuan dengan sahabatnya selalu membawa binar kebahagiaan. Terpancar dari mata sang Raden, yang menerawang jauh ke dalam kepingan masa lalunya. Ia sedang mengingat-mengenang sesuatu.

"Kau ingat, saat aku pulang dari kali. Waktu aku jatuh dari pohon asem angker itu ?" Raden membuka serpihan kenangan masa kecilnya.

"Tentu aku ingat. Bagaimana aku bisa lupa, kau menangis, mulutmu berdarah-darah karena tidak pandai memanjat." Sigit tertawa dengan senyuman khasnya. Tipis.

Raden pun ikut terhibur oleh ucapan teman karibnya. Ia tersenyum awet sekali senyumnya. Matanya kembali meneropong jauh ke dalam, sampai akhirnya menemukan serpihan-serpihan lain.

"Aku iri padamu, kau bisa keluyuran kemana yang kau mau. Sedangkan aku, selalu dikekang romo. Makanya aku nekat kabur waktu itu, menyusulmu hingga ke sungai." Raden mengenang dengan baik masa-masa itu.

"Kau ini manusia tidak tahu bersyukur. Hidupmu sudah sempurna masih saja ingin mengambil hidupku. Memangnya kau mau bertukar posisi denganku ?" Sigit mengukir senyum itu lagi. Tipis.

"Sempurna itu hanya milik Tuhan bukan ?" Raden berhenti mengambil jeda. "Iya. Milik Tuhan. Buktinya sekarang hidupku... ah." Kata-kata selanjutnya seolah tersangkut di kerongkongan dan tertahan di ujung lidahnya. Raden Kerta Kesuma teringat perkataan Ahmad.

Ahmad pernah mengatakan bahwa manusia tidak pernah setara dengan Tuhan. Bahkan bumi berserta isinya tidak bisa disandingkan denganNya.

"Siapa yang mengajarimu sampai pandai begini ?" Tanya Sigit.

"Pandai apa ?"

"Pandai ceramah, seperti cendekiawan."

Raden tersenyum mendengarnya. Lalu ia menanggapi selorohan temannya. "Seseorang, dia orang yang telah membantu menyembuhkanku. Dia juga sudah banyak membantu keluargaku. Kau tidak kenal. Dia tinggal di kulon, dekat kali."

"Apanya yang sembuh, kakimu masih sakit kan ?" 

Raden berhenti bicara. Ia menyerap perkataan terakhir dari Sigit. Memang, kakinya belum sembuh benar.

Tetapi, kata-kata Sigit terasa begitu mengganjal. Hatinya tak nyaman. Padahal, Sigit sudah ia anggap seperti saudara. Matanya menerobos lagi ke dalam ingatan, dan menemukan satu lagi kepingan masa lalunya.
Ia ingat, saking dekatnya ia dengan Sigit, romonya sampai memberikan hadiah yang sama persis untuk mereka berdua. Waktu itu Raden merayakan pesta syukuran atas khitanan dirinya. Ia diarak dan didandani bak putra mahkota kerajaan. Bajunya berkilauan macam sisik ikan emas yang terbuat dari emas. Kepalanya dihias dan dipercantik dengan rupa-rupa hiasan. Makanan enak terlezat disediakan untuk memenuhi selera tamu-tamu undangan.

Romonya sangat menyayangi anaknya, itu sebabnya ia selalu menuruti apa maunya, untuk memperlalukan Sigit dengan baik seperti anaknya juga. Waktu itu Sigit ikut diarak dan disunat. Sesuai dengan permintaannya.

"Romo..." Rindayu muncul di depan pintu kamar, membuat Raden tersadar dari nostalgia masa kecilnya.

"Masuk anakku, kemari, mendekatlah." Raden mengulurkan tangannya dan membukanya lebar. Bersiap memeluk putri kesayangannya.

"Romo, aku ingin tidur di kamar dengan romo. Bolehkan ?" Rindayu mendongak menyembulkan kepalanya yang tenggelam dalam dekapan sang ayah. Manik cantiknya menatap romonya penuh iba.

"Tentu boleh." Raden Kerta Kesuma mengecup kening Rindayu lama dan mesra.

Sigit menyaksikan pemandangan itu sejak tadi. Ia memandang dengan khusyuk, sampai tidak sadar, dirinya juga tengah jadi bahan perhatian. Ajeng Kamaratih memergokinya. Ia pun segera meminta ijin keluar kamar dan memberi ruang bagi keluarga kecil itu untuk berkumpul. Keluarga yang baru saja kehilangan satu anggota keluarga lainnya. Mereka sedang berusaha menyusun puing-puing yang hancur berantakan menjadi mozaik segitiga. Iya, mereka hanya tinggal bertiga. Seperti sebuah segitiga. Mereka harus utuh. Agar kaki-kakinya bisa berdiri tegak dan ujungnya meruncing kuat. Mozaik itu masih akan butuh beberapa puing lagi untuk tampil sempurna. Menunggu sampai pilar utama bisa kembali memimpin keluarga. Mereka harus bersabar, dan berusaha agar Raden Kerta Kesuma sembuh total.

***

"Raden, Raden, Raden."

Raden Kerta Kesuma berlarian, membuat seseorang berusaha mengejarnya di belakang.

"Raden." Suara itu terus terdengar diiringi gelak tawa.

Entah kenapa Raden Kerta Kesuma begitu riang mendengar namanya disebut-sebut dan tubuhnya bergerak lincah menghindari kejaran seseorang itu.

"Raden..."

Lagi-lagi namanya dipanggil. Mendengarnya membuat hati senang. Ia senyum-senyum sendirian, Raden Kerta Kesuma berjalan menuju sebuah jendela besar. Ia bersembunyi di sana, di balik tirainya_sambil terus menahan tawa bahagia.

Raden mengambil nafas dan menahanya kuat-kuat agar tidak kedengaran. Ia sedang bersembunyi dari kejaran seseorang. Makanya ia berbuat demikian.

Namun, tawa itu meledak juga. Tepat saat tempat persembunyiannya terbongkar. Ia berusaha mencegah agar tidak tertangkap, tetapi seseorang yang sedari tadi memanggil namanya, berhasil.

Seorang anak lelaki berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Lalu mereka tertawa bersama dan tampak bahagia. Anak lelaki itu mengenakan sebuah kalung bertahtakan emas dengan gambar burung dara tercetak pada bandulnya. Kalung itu berkilauan menyilaukan mata. Silau sekali sampai-sampai matanya jadi sakit.

"Pergi. Cepat pergi dari sini !"

Ada orang lain yang datang dan tanpa ampun langsung mengusir anak lelaki itu. Anak lelaki yang bersama dengannya. Orang itu menarik kasar tangannya dan menyeretnya keluar. Raden masih memegangi matanya yang sakit dan berair. Ia menangis. Entah karena sakit akibat silau atau sedih karena anak lelaki itu.

Bangun-bangun matanya basah. Ia masih belum sadar kalau yang dialaminya hanya mimpi. Dadanya sesak menahan tangis. Setelah sepenuhnya sadar, barulah ia kebingungan. Untuk apa ia bersedih. Tapi, potongan mimpi itu begitu nyata. Seolah ia pernah mengalaminya.

Tangannya memegangi pipi dan merambat naik ke atas. Betul. Matanya basah. Ia semakin berduka atas mimpinya.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang