2. Langganan Razia

6K 600 14
                                    

Author POV

Tiga belas tahun kemudian...

Ada senyum geli di bibir Sarah saat melihat sosok muram memasuki rumah. Bukan, bukan karena itu. Namun karena melihat rambut hitamnya yang sudah berubah saat terakhir kali melihatnya kemarin. Helai rambutnya menjadi tak berbentuk. Beberapa ada yang mencuat ke atas dan itu sangat lucu bagi Sarah.

"Kena lagi sama Ketua OSIS-nya?" Ujar Sarah sembari terkekeh geli.

"Dia sama sekali nggak punya skill motong rambut, Bunda," sungutnya lesu.

"Ya udah, minta benerin Pakde rambutnya. Ini tinggal di potong dikit rapihan ini," komentar Sarah.

"Ck, rambut Ali, Bunda," kesalnya sembari menggerutu.

"Berbulan-bulan Ali rela kucing-kucingan buat pertahanin rambut Ali," sungutnya terus.

"Kan udah pernah Bunda bilang, Bang. Dari pada kena sama ketua OSIS kamu yang sangar itu mending potong sendiri, kan?"

"Bunda..."

"Iya, iya... suka banget kamu manjangin rambut?"

"Nyaman gitu, Bunda."

"Tapi ganteng pendek, ah!" Komentar Sarah lagi. Ali mendesah kecil. Tak suka di bilang demikian.

"Enak gini, Bang. Tuh, adem liatnya. Ringan dikit, kan kepalanya?"

"Kalau potong rambut bisa ngeringanin beban, lucu ya bunda. Ali masih mending botak deh kalau gitu. Makin dikit rambut kita, makin dikit beban yang kita punya. Tapi, ah, ntar semua manusia di bumi milih botak semua deh?"

Sarah tersenyum, "Beban itu udah menjadi pelengkap kodrat kita sebagai manusia. Kalau kita hidup di dunia ini tanpa beban, mulus-mulus aja, kita nggak akan pernah menjadi mandiri," ujar Sarah membuat Ali tersenyum. Bundanya benar.

"Bunda benar," balas Ali.

"Udah sana, minta benerin Pakde rambutnya," suruh Sarah.

"Nanti aja deh, Bunda. Ali buru-buru mau nge-shif," tolak Ali.

"Lho, bukannya libur?" heran Sarah.

"Ali minta full shif, Bunda, dan Alhamdulillah Farel ngabulin," kata Ali yang membuat Sarah terkejut.

"Kok nggak kompromi sama Bunda dulu? Bunda bolehin atau nggak," protes Sarah.

"Boleh ya, Bunda?" Lelaki itu sudah memegang kedua tangan perempuan yang paling di cintai-nya itu dengan lembut.

"Kamu kapan istirahat nya, Bang kalau setiap hari?" Protes Sarah lagi. Ia bukannya tak suka, hanya saja kapan putranya itu bisa istirahat jika setiap hari bekerja, belum lagi sampai malam.

Terhitung sejak kelas tiga SMP, Ali memang sudah mandiri. Ia bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji yang cukup besar di ibukota. Kalau bertanya Sarah mendukung atau tidak, jawabannya adalah tidak. Bukan apa-apa, selain karena Sarah mengkhawatirkan sekolah Ali, ia juga khawatir akan kesehatan putranya itu. Ia sangat tahu alasan mengapa Ali sampai harus bekerja seperti ini. Alasannya simpel; Ali nggak mau selalu ngerepotin semua orang, termasuk Bunda.

Setiap kali Ali berkata demikian, Sarah tak mau kalah dengan menjawab; Ali nggak pernah ngerepotin Bunda.

Tapi, memang pada dasarnya Ali sangat keras kepala, ia tetap kekeuh bekerja. Sarah pun hanya bisa pasrah. Apalagi saat mendengar kalau mulai hari ini Ali akan bekerja setiap hari. Biasanya Ali akan bekerja tiga kali dalam satu pekan. Jum'at, Sabtu dan Ahad.

"Bunda jangan khawatir ya, Ali nggak apa-apa kok," katanya menenangkan.

"Harus janji jaga kesehatan?"

Selamanya Milikku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang