Musim Hujan 1873
"Apakah kau mau ikut denganku ke volksraad setelah kita sarapan, my lady?" Lord Carlos tiba-tiba menghentikan kegiatan sarapan pagi mereka yang berlangsung khidmat seperti biasa demi bertanya pada Arabella yang duduk di seberangnya.
"Apakah aku boleh ikut?" Heran mendengar tawaran yang datang begitu mendadak dari Lord Carlos, Arabella menaruh kembali sendok yang sedang dalam perjalanan menuju mulutnya ke atas piring. Biasanya suaminya tidak pernah melibatkan dirinya dalam urusan pemerintahan. Oleh karena itu Arabella tidak menyangka akan diajak oleh Lord Carlos ke gedung volksraad dimana notabenenya gedung tersebut akan dipenuhi pejabat-pejabat dan orang-orang penting yang memiliki kedudukan dalam pemerintah.
"Justru itu, my lady. Hari ini aku resmi dilantik menjadi Gubernur Jenderal nederlandsch-indie, sekaligus aku ingin mengenalkanmu sebagai istriku di hadapan semua bawahanku dan juga para inlander tersangka hukuman mati yang telah berhasil aku bebaskan. Mereka pasti akan senang melihat seorang lady berhati mulia seperti kau my lady."
"Itu bukan karenaku, my lord. Justru mereka seharusnya berterimakasih padamu karena kaulah yang telah bertindak membujuk raja dan juga para petinggi dewan lainnya. Aku pun tidak dapat berbuat apa-apa jika seandainya kau menentang keinginanku."
Lord Carlos menggeleng lalu memasukkan suapan terakhirnya ke dalam mulutnya. Ia kemudian meletakan perkakas makannya kembali ke atas piring dan mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang telah disiapkan Zovich. "Kau yang melunakkan hatiku, my love. Memang seorang istri pada zaman sekarang ini tidak dapat berbuat apa-apa jika suami mereka menentangnya. Tetapi aku bersyukur memilikimu sebagai orang yang dijodohkan orang tua kita denganku. "
"Jangan berusaha menggodaku, my lord," balas Arabella tersipu malu.
"Aku tidak sedang berusaha menggodamu, my lady!"
"Lalu apa?"
"Aku mengatakan fakta yang sebenarnya," sahut Lord Carlos mantap dengan senyuman lebar yang terukir di wajahnya. "Sekarang lekas habiskan sarapanmu, my lady. Bisa-bisa aku tidak jadi dilantik karena datang terlambat ke gedung volksraad!"
"Itu tidak mungkin, my lord!" Sanggah Arabella cepat.
"Mungkin saja. Melihat gayamu menyantap sarapanmu, aku menilai bahwa kita akan sampai di volksraad tahun depan!"
Arabella mendelik ke arah suaminya yang duduk di ujung meja, "kau tahu aku tidak selama itu, my lord!" Dengan cepat Arabella menaruh sendok garpunya ke atas piring, mengelap mulutnya dengan sapu tangan lalu bergegas berdiri untuk membuktikan perkataannya pada Lord Carlos. "Lihat?"
"Baiklah aku percaya,"ujar sang Duke of Parma itu sembari tetap tersenyum geli. "Then, shall we go?" Tanyanya mengulurkan sikunya untuk digandeng Arabella.
Arabella mengangguk lalu menyelipkan tangannya di balik siku Lord Carlos, membirkan suaminya menuntunnya menuju paardenkoets yang telah terparkir rapi di teras townhouse mereka. Lord Carlos dan Zovich kemudian membantu Arabella menaiki paardenkoets kemudian merapikan gaun panjangnya sebelum Lord Carlos sendiri menyusul masuk lalu duduk di hadapan Arabella.
Dalam jarak sedekat ini Arabella baru bisa benar-benar mengamati wajah suaminya dengan jelas setelah terakhir kali Arabella melakukannya. Meskipun pernikahan mereka sudah lama berlangsung, namun sangat jarang ia bisa mengamati wajah suaminya secara langsung. Rahangnya yang tegas. Hidungnya yang membentuk garis simetris sempurna. Serta kelopak matanya yang tertutup namun masih melukiskan sifat asli sang lord.
Begitu tiba-tiba kelopak mata itu terbuka. Hingga iris nata Arabella kembali bertubrukan langsung dengan milik Lord Carlos. "Sedang mengagumiku lagi, my lady? Aku tahu aku tampan. Tetapi aku takut apabila kau memandangiku terlalu lama, kadar ketampananku akan semakin meningkat, hingga kau tidak akan pernah bisa melepas pandanganmu dariku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chase The Bliss [Completed]
Tarihi Kurgu#1 from The Overseas Tetralogy Kejarlah kebahagiaanmu! Karena kaulah yang menentukan takdirmu sendiri.... Arabella Gualthérie Van Weezel, seorang Lady muda dari wangsa Weezel. Seorang noni muda Belanda. Trauma masa lalu menghantuinya ketika ia jatuh...