Jeongin menjalani hari sabtunya dengan linglung. Meskipun kekosongan yang mengisi dadanya mulai menghilang karena kehangatan Hyunjin yang memeluknya, ia tak bisa memaksakan dirinya untuk bicara.
Sebuah cangkir putih berisi cairan tar hitam pekat berada ditangannya. Mereka berdua telah berpindah dari tempat tidur menuju sofa diseberang jendela. Dan diluar sana badai salju berkekuatan besar tengah mengamuk.
"Bagaimana perasaanmu?" Hyunjin bertanya dan Jeongin mendongak dari cangkir mengepul ditangannya.
Fitur di malaikat diwarnai kecemasan dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang Jeongin tahu juga sedang berusaha masuk ke hatinya, sesuatu yang terlalu takut untuk ia beri nama. Nama itu telah lama terkubur dalam kekosongan dunia kelabunya dan Jeongin takut ia akan menarik Hyunjin kedalam kegelapan tak berdasar.
"Masih ... pusing," Jeongin mengakui dan mengalihkan pandangannya kembali ke cangkir di tangannya.
***
Setiap pagi, selalu ada cangkir ini ditangan Jeongin dengan cairan yang sama. Bagi Jeongin rasa kopi ditangannya seperti rumah, tidak peduli semurahan apa hal itu kedengarannya.
Kopi-kopi yang ia minum sebelumnya, mug yang tak terhitung jumlahnya tersebar di apartemennya, adalah air berlumpur dibandingkan dengan ini. Hal ini mungkin hanya imajinasinya atau karena fakta bahwa seseorang benar-benar membuatnya untuknya, atau mungkin karena seseorang itu adalah Hyunjin.
Jeongin mengangkat cangkir ke bibirnya, menyesap sedikit. Cahaya yang masuk melalui jendela terhalang sekarang. Hyunjin duduk disebelahnya, sayapnya menghalangi cahaya yang masuk. Kehadiran Hyunjin disampingnya membuat Jeongin ingin menumpahkan semua hal, membuat bibir Jeongin gatal menyebutkan sesuatu yang mencoba memasuki hatinya tetapi ia memilih menyimpannya kembali.
"Aku bersungguh-sungguh tentang apa yang kukatakan. Aku siap mendengarkan apapun, tentang masa lalu, saat ini, dan masa depan. Aku akan berada disampingmu, jadi jangan merasa terlalu sungkan atau takut untuk berbagi atau meminta apapun yang kau butuhkan"
Hyunjin tersenyum dan Jeongin berkedip beberapa kali setengah kagum setengah bingung. Sosok didepannya memang malaikat tidak lebih tidak kurang.
"Gomawo" Jeongin menjawab. Menyesap kopinya lagi.
Aroma kopi pernah menjadi aroma favorit Jeongin. Aroma kopi panas yang baru diseduh menyerbu inderanya dan membangun Jeongin. Membuatnya tetap terjaga dan anehnya terkadang menidurkannya menutupi aroma busuk dari dunia kelabu diseberang jendela. Saat ini Jeongin tidak yakin apa aroma kopi masih aroma favoritnya.
Sesuatu yang jauh lebih lembut, dan lebih sering hadir menginvasi inderanya. Dan meskipun itu hanya muncul sekilas dalam pikirannya yang berkabut Jeongin tak bisa melupakannya. Tetapi ia harus.
Jeongin bertekad untuk tak memanfaatkan Hyunjin, yang sekarang sedang mengamati tarian kemarahan salju yang tak menentu dibalik kaca jendela. Jeongin tak bisa memanfaatkan kebaikan Hyunjin untuk menyembuhkan ketiadaan yang menggerogoti dadanya.
Tapi bisakah Jeongin?
Bisakah ia menjauhkan dirinya dari Hyunjin ketika ia tahu bahwa pelukan Hyunjin adalah rumah yang tidak pernah ia miliki.
Hari minggu Jeongin dibungkus dengan badai salju raksasa beserta segelas kopi panas dan sebuah keheningan nyaman antara dirinya dan Hyunjin. Jeongin menyadari bahwa ia tak bisa melawan undangan terbuka yang diberikan Hyunjin.
Jeongin tak bisa menolak ketika Hyunjin memberinya sebuah santuari, tempat perlindungan, tempat persembunyian. Sebuah rumah baginya untuk pulang. Dan tak peduli sekeras apapun ia berusaha menolak, perasaan itu justru semakin kuat. Sifat manusianya yang egois menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
heaven on earth || hyunjeong ✔️
Fiksi PenggemarJeongin terjebak dalam sebuah tempat dimana ia tidak bisa merasakan apapun -tidak kebencian, tidak pula cinta- hanya sebuah kegelapan mutlak. Jeongin tidak bisa pergi kemanapun... sampai surga sendiri datang dan menjadi bagian hidupnya. A Pieces of...