To the Woods

171 19 7
                                    

Barisan pohon yang menggapai langit itu tak kunjung selesai. Padahal, langit di atas itu sudah berganti warna menjadi hitam. Cahaya bintang dan bulan purnama tidak cukup untuk menerangi jalan kami. Syukurlah, mobil yang kami tumpangi ini lampunya baru diganti setelah rusak gara-gara tertembak peluru musuh Odasaku.

Entah untuk kali keberapa, aku menghela napas panjang. Itu masih lebih baik, sih. Mobil sebelumnya meledak karena seseorang meletakkan bom di dalamnya.

Akan tetapi, semua peristiwa itu tak bisa kuprotes dan kuhindari, ini memang risiko mengencani anggota Port Mafia (secara diam-diam. Kalian bisa bayangkan sendiri risikonya bila kami pamer hubungan di internet).

"Kamu sudah kelebihan satu jam menyetirnya," ujarku kepadanya, "ayo gantian, saatnya aku yang menyetir."

"Nanti."

Hari ini, Odasaku tak menerima tugas dari bosnya dan mengajakku camping  di hutan sungguhan. Ia tidak mengajak anak-anak karena merasa bahwa aku akan menganggapnya tidak adil. Beberapa waktu yang lalu, ia sudah membawa anak-anak berlibur tanpa aku dan tanpa sepengetahuanku. Ketika Dazai tahu ini, ia langsung mengomporiku, tetapi aku hanya tertawa saja menanggapinya (aku memang tidak marah kok, waktu itu).

Padahal tidak masalah, bukan, mereka 'kan memang anak-anak angkatnya...

Oh, iya. Kami pergi ke tempat camping  di hutan ini naik mobil Odasaku. Setiap dua jam, kami bergantian membawa mobil agar bisa tetap fokus setelah beristirahat. Akan tetapi, sejak malam menjelang, Odasaku tetap berkeras untuk menyetir dan tak mau bergantian denganku.

"Yaudah deh kalau kamu maunya begitu," kataku sambil memberikan botol minumnya, "tapi sebentar lagi kita berhenti dulu ya, aku mau ambil selimut dari bagasi. Dingin."

"Oke."

Menolak botol yang kuberikan kepadanya, tangan kirinya memindahkan gigi mobil. Iya, ini adalah mobil manual, jadi Odasaku harus menekan kopling dengan kakinya terlebih dahulu. Lampu sein kiri dinyalakan. Hei, ia terus mengurangi kecepatan kami dan mengarahkan mobil ke sebelah kiri keluar dari jalan.

Mobil berhenti di atas rerumputan.

"Tunggu di sini," kata Odasaku kepadaku, "aku akan ambilkan selimutmu."

Ah, ia mematikan mesin mobil dan mengambil rokok dari dashboard. Pasti ia ingin merokok sebentar di luar, batinku sambil mencuri pandang ke safety belt  yang membebaskan dada bidangnya. Kenapa sih dia selalu memakai kemeja press-body  berwarna marun itu?! Ketika ia membuka pintu mobil, pandangan kami bertemu, dan ia terdiam sejenak dengan netra safirnya yang terarah kepadaku.

Walaupun ekspresinya masih datar begitu, ia sukses membuat detak jantungku mengamuk tidak keruan.

Odasaku kembali ke posisinya di belakang setir, mengarahkan tubuhnya ke arahku, dan mendekat. Bibirnya yang lembut mengecup pipiku dengan cepat.  Tak lama, ia keluar dari mobil tanpa menatapku lagi.

Astaga, pikirku sambil memendam wajahku di dalam kedua belah tanganku. Bagian yang disentuhnya terasa sangat panas. Iya, dia ini memang sedikit bicara, tapi banyak aksinya...

"Hei, buka jendelanya."

Aku benar-benar terkejut ketika mendengar jendela di kiriku diketuk oleh Oda. Kalau tidak ada kaca ini, jarak wajah kami sangatlah dekat. Jadi, aku menjauhkan mukaku dari jendela terlebih dahulu sebelum menurunkan seluruh kacanya. Tidak baik untuk kesehatan. Mata biru Oda cerah sekali, dan dari sini aku bisa melihat garis rahang dan tulang selangka di bawah kerahnya, tidak baik untuk kesehatan!

"Terima kasih, Odasaku!"

"Aku mau merokok sebentar," gumamnya setelah selimut itu berpindah ke tanganku, "benar katamu, di sini agak dingin."

Holiday, PlaydayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang