Sonnet 18

9 2 5
                                    

Inspired from Shakespeare's Sonnet 18

.

"Shall I compare thee to a summer day?"— William Shakespeare
.

.

.

Menyebarkan pandangannya ke arah rerumputan hijau, Dahyun mendengus pelan. Menekuk dalam raut wajahnya, dara itu lantas mendongak. Menatap sebal kepada lelaki yang sejak tadi setia mendorong kursi rodanya.

"Hanbin, aku kuat jalan sendiri. Kau tidak perlu—"

Ujaran Dahyun berhenti ketika roda penopang kursi hitam itu turut berhenti. Mendapati wajah sang jaka semakin dekat bergerak ke arahnya, Dahyun terdiam kaku seakan mematung di buatnya.

"Diam dan nikmati saja perjalananmu, Dubu."

Dahyun memalingkan wajahnya. Berusaha keras menyembunyikan rona kemerahan yang muncul pada wajahnya. Demi apapun, tadi itu jarak yang dekat sekali!

"Kau kan suka musim panas, makanya aku bawa keluar. Mumpung masih ada satu minggu sebelum musim berganti."

Dahyun melirik sekilas wajah laki-lakinya. Mengguratkan senyum tipis, diam-diam Dahyun bersyukur dalam hati. Bersyukur karena ia diberikan seorang malaikat penjaga seperti Hanbin oleh Tuhan.

"Kalau begitu, apa kau juga menyukainya? Musim panas itu?"

Dahyun bungkam sejenak. Menunggu jawaban dari Hanbin maksudnya. Namun sampai detik kesepuluh berlalu tak ada satu patah kata pun yang juga keluar dari bibir sang jaka. Dan mau tidak mau, hal itu kembali membuat Dahyun menoleh ke arah laki-laki jangkung tersebut.

"Kau tidak mau menjawab?"

Hanbin menghentikan dorongan sejenak. Mengalihkan netranya kepada Dahyun, laki-laki itu kemudian terkikik pelan.

Mudah sekali merajuk sih, batinnya.

"Apa? Apa yang kau tertawakan? Memangnya aku sedang melawak?"

Dahyun kembali memalingkan wajahnya sekali lagi. Mengerucutkan bibirnya beberapa senti, lantas melipat kedua tangannya di depan dada.

"Hey, hey, apa ini? Merajuk lagi, eh?"

Hanbin berjalan lambat menghampiri Dahyun. Melipat kedua kakinya di hadapan sang dara, ia kemudian lekas mengadu netranya dengan milik Dahyun.

"Sudah, sana pergi. Aku mau sendiri saja." Balas Dahyun ketus enggan menatap wajah lawan bicaranya.

"Kau merajuk seperti anak kecil saja."

Entah bodoh atau apa, Hanbin merutuki bibirnya yang polos. Sadarkah ia bahwa kalimat itu justru semakin membuat keadaan memanas?

"Oh, ya. Aku memang kekanakkan. Jadi kalau kau tidak suka pergi saja sana jauh-jauh."

Hanbin merutuk pelan dalam hati. Menghela napasnya panjang, jaka itu lantas segera meraih jemari mungil milik sang kekasih. Kendati awalnya sulit karena gadis itu terus melawan, toh pada akhirnya ia mendapatkan juga jemari-jemari itu di dalam genggamannya.

"Mana mungkin aku bisa jauh-jauh dari bidadari seperti kamu hm? Satu detik saja berpisah terasa seperti satu tahun."

Tanpa sadar Dahyun mengulum senyum. Sesaat, namun jelas sekali sampai-sampai Hanbin mampu memotret dengan kedua manik pekatnya.

"Baiklah. Karena kau sudah tersenyum. Jadi, aku di maafkan kan?"

Giliran Dahyun yang merutuki dirinya mati-matian. Kenapa juga sampai tersenyum seperti itu? Memalukan sekali. Kau tidak ada bakat sama sekali jauh dari nya Dubu!, gumamnya dalam hati.

"Siapa yang bilang? Kau bahkan tidak bisa menjawab—"

"Yayaya. Aku suka musim panas. Sangat, sangat suka."

Mendengar paparan tersebut tak ayal membuat Dahyun menoleh segera. Menatap Hanbin dengan tatapan penuh tanya, seakan-akan berkata; benarkah? Kau pasti berbohong.

Hanbin menghela napas pendek. "Sungguh, Dubu. Aku tidak bohong!"

Mengarahkan satu jarinya untuk menyingkap helaian rambut pada wajah sang kekasih, Hanbin kemudian kembali menggenggam jemari Dahyun kuat.

"Apapun yang kau suka, aku juga suka."

"Eh? Benarkah?"

Sebuah anggukan pelan Hanbin hadiahkan pada Dahyun. Mengiringinya dengan sebuah senyuman tipis, Hanbin lantas mengadukan manik matanya dengan manik Dahyun—lagi.

"Kalau begitu, mana yang lebih kau suka? Aku atau musim panas?"

Hah?

Hanbin menaikkan kedua alisnya lekas. Pertanyaan macam apa itu?

"Lihat, lihat. Kau bahkan tidak bisa menjawabnya huh!"

Dahyun mengerucutkan bibirnya. Membuang wajahnya malas dari hadapan sang kekasih, sebelum tiba-tiba tangan kekar itu menangkup halus permukaan wajahnya.

"Lepas," rajuk Dahyun malas.

Tak bosan-bosan mengumbar senyum, Hanbin lantas menatap lamat wajah Dahyun. Terdiam sejenak, kemudian mendaratkan sebuah kecupan singkat di atas kening Dahyun.

"Kenapa aku harus membandingkan seorang bidadari dengan musim panas jika kenyataannya berada disampingmu lebih hangat dan menyenangkan, hm?"

Dahyun merutuk mati-matian sikap Hanbin yang terlalu berlebihan. Hey, dari mana coba dia belajar kalimat-kalimat puitis yang mampu mematangkan wajah Dahyun. Ugh!

.

"Hei Dubu, kau merona lagi." Hanbin menambahkan di ikuti kekehan pelan.

—FIN.


Ps. This fic actually has been posted in line before, but I decide to repost it with a bit revise❤

SONNET 18Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang