HAMBURG, 2020
Laki-laki itu berdiri di samping bangkar yang dituduri wanita tua yang nampak pucat dengan selang-selang di hidung dan tangannya. Tangannya membelai rambut putih itu dengan perasaan sedih. Bunyi bip dari mesin EKG kian mendramatisir suasana di ruang perawatan VIP ini.
Time flies so fast. Begitu kata orang-orang.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, hanya sosok tua nan pucat ini yang dimilikinya. Satu-satunya sosok yang mau membawa dan mengurusnya di saat kedua orangtuanya sibuk menciptakan kebahagiaan sendiri. Hanya sosok ini yang tahu dan memperjuangkan segala yang terbaik untuknya.
Kini ketika wajah tua itu berbaring lemah tak bertenaga, giliran dia yang akan memperjuangkan segala yang terbaik untuk Omahnya itu. Apapun demi kesembuhannya.
"Dewa, Auf wiedersehen. Gute besserung für Oma." (*Dewa, sampai jumpa lagi. Semoga cepat sembuh untuk nenekmu.)
Dewa menoleh pada seorang pria berpakaian formal dengan jas dan tas kantor yang baru saja menepuk bahunya. Dia adalah salah satu rekan bisnis Omahnya yang sedang menjenguk.
"Ja, danke." (*Ya, terima kasih.)
Setelah mengantar pria itu keluar ruang perawatan, Dewa kembali masuk dan mengambil ponselnya di atas nakas. Perutnya bergejolak minta diisi, maka Dewa pun turun ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebelumnya, dia telah menitipkan Omahnya pada perawat.
Duduk di kursi kantin, Dewa menyuapkan wiener schnitzel ke mulutnya dalam diam. Sejak Omahnya masuk rumah sakit, Dewa mendadak jadi sosok yang pendiam. Senyum dan tawanya hilang dibawa lara. Perasaannya tak enak, seolah akan ada sesuatu buruk yang terjadi.
Tiba-tiba, pandangannya terhenti pada layar televisi yang ditempel di dinding kantin. Ada sebuah berita yang mampu menghentikan sejenak aktifitas makannya, yaitu berita tentang kasus korupsi di negara Indonesia. Bukan masalah kasusnya yang menarik perhatian Dewa, tetapi negaranya. Berita itu membuatnya mengenang kembali masa-masa ketika berada di negaranya. Negara yang ditinggalkannya, kampung halamannya.
Indonesia, khususnya Bogor, punya banyak cerita bagi Dewa. Banyak pula kenangan yang terukir di sana, memenuhi masa remajanya.
Apalagi kenangan dengan seseorang yang sangat berarti baginya. Sampai detik ini.
Jika mengenang itu semua, kepalanya terasa ingin meledak. Saking besarnya penyesalan yang dia rasakan. Namun ironisnya, rasa sesal itu tak seharusnya ada, karena dulu dia sendiri lah yang memilih mengambil keputusan itu. Maka sekarang, dia sendiri pula yang harus menerima konsekuensinya.
Drrrttt...
Getaran ponselnya di saku celana membuat Dewa tersadar dari kenangan-kenangannya. Setelah meletakkan garpu dan pisau di atas piring, Dewa mengambil ponselnya. Dan nomor yang tertera di layarnya langsung membuat wajah Dewa tegang seketika. Jantungnya berdegup kencang, perasaan janggal itu muncul kembali.
"Hallo." Dengan suara bergetar, Dewa mengangkat telepon dari nomor rumah sakit itu.
Dan jawaban yang didengarnya dari seberang sana langsung membuat Dewa berdiri dan mendorong kasar kursinya ke belakang untuk segera berlari menuju lift.
Ternyata, perasaan janggal itu benar adanya. Menandakan akan ada sesuatu buruk yang terjadi. Memberikan sinyal bahwa kini Dewa harus siap hidup menjalani hari-hari tanpa Omahnya lagi.
Baru saja, perawat mengatakan bahwa Omahnya telah meninggal dunia.
**********
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomansaKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...