Aku tersapu oleh bayangan yang terus menghantuiku, batinku masih sesak, pikiranku masih tertuju pada sebuah harapan palsu yang tak berarti. Jiwa ini terasa kosong. Kupikir ini terlalu menyakitkan atau memang sedari awal hanya aku yang terlalu banyak berharap.
Mataku masih membaca pesan-pesan singkat yang lalu. Entah sudah berapa puluh kali aku membacanya, namun aku masih tak dapat percaya dibuatnya. Air mataku jatuh saat harus menghapus beberapa foto lucu kami. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat selain merelakannya saja.
Bagi sebagian orang ceritaku ini sangat klasik sekali. Hanya seorang wanita yang ditinggalkan, hanya seseorang yang patah hati. Begitu saja. Bagi orang yang sedang tidak mengalaminya tentu ini hal sepele tapi bagi yang sedang mengalaminya, hal ini merupakan sebuah dilema besar. Meski aku juga pernah merasakannya beberapa kali sebelum ini, namun saat ini adalah yang terburuk yang pernah kualami.
Namanya Andika. Aku bertemu dengannya ketika aku melaksanakan ujian semester enam di perkuliahanku. Dia adik tingkatku dan sistem perkuliahanku memang memasangkan adik tingkat dan kakak tingkat di kelas yang sama saat ujian akhir semester. Dan entah itu kesialan atau keberuntungan, Andika menjadi teman satu mejaku.
Pertemuan yang biasa itu membuatku dekat dengannya. Awalnya aku hanya penasaran dengan soal-soal adik tingkat, apakah sama atau berbeda denganku dulu. Kemudian dia juga begitu, penasaran dengan soal kakak tingkatnya, apakah lebih sulit atau lebih mudah. Dan begitu membaca soalku dia hanya bisa tercenggang. Tentunya itu lebih sulit.
Kami terus berkontak. Tak kusadari ternyata kami juga terhubung dalam organisasi yang sama. Maklum, aku jarang sekali aktif di organisasi, kalau hanya ada waktu saja. Sama halnya dengan dia, makanya kami tak saling kenal.
Begitu kenal dan banyak bercerita kami merasa banyak menemukan kemiripan di berbagai hal. Mulai dari hobi, selera humor, makanan yang di sukai, tempat yang paling sering dikunjungi bahkan film yang di tonton pun sama.
Beberapa bulan berjalan. Kami membuka diri untuk lebih mengenal satu sama lain. Lebih sering jalan bersama, makan bersama, nonton bersama. Tamasya bersama pun tak terlewatkan ketika aku mulai mengerjakan skripsi. Ketika penat terasa, biasanya dia yang akan menghiburku, dia yang akan kujadikan tempat uring-uringan dan dia juga yang akan mendengarkan semua keluh kesalku.
Mengunjungi satu sama lain sudah biasa bagi kami. Aku sering mampir ke rumahnya, bertemu dengan ibunya. Berteman akrab dengan keluarganya. Begitu juga dengannya. Meski tak sesering aku namun dia bisa dekat dengan adik laki-lakiku. Aku merasa terhubung dengannya lebih dari yang kubayangkan.
Waktu terus berjalan dan aku mulai merasa dia adalah aku dan aku adalah dia. Disanalah letak kesalahan pertamaku. Dimana aku tak bisa melihat bayangan diriku sendiri sepenuhnya. Aku selalu melihat Andika sebagai aku sehingga tak bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Kufikir segala tentangnya adalah baik atau dia tidak seburuk itu. Aku tau dia punya kekurangan tapi kelebihannya terpancar jelas dimataku lebih dari kekurangannya. Sehingga apapun yang dikatakan orang lain tentang dirinya tak berarti lagi untukku. Yang kutau dia itu aku dan aku itu dia.
"Kapan Ayahmu pulang?" Itu pertanyaan yang entah keberapa kali dari Andika setelah kita semakin dekat.
"Entahlah. Mungkin nggak dalam waktu dekat. Ada apa?" Jawabku malas dengan topiknya. Ayahku seorang pegawai swasta yang sering pergi keluar kota. Dia jarang di rumah.
"Aku sudah kenal Ibumu dan Adikmu. Kalau nanti aku bertemu Ayahmu, aku ingin Dia juga menyukaiku. Ada masukan?" Aku terdiam membaca pesannya.
"Sayang sekali. Ayahku hanya menyukai ibuku. Dia nggak bisa jatuh cinta padamu." Jawabku sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Tak Terkenang
Short StoryUntuk dunia yang serba tidak sempurna pasti akan selalu ada satu titik dimana kesempurnaan itu bukanlah sesuatu yang kita cari. Ada hal yang lebih sederhana dari kesempurnaan.