Memori kelam

23 1 0
                                    

Gunung Agung erupsi, warga sempat panik lihat asap hitam membumbung dari kawah. Gunung Agung di Karangasem, Bali, meletus hari Selasa (21/11) sekitar pukul 17.05 WITA dengan mengeluarkan asap hitam, yang membuat sejumlah warga panik.

Sepotong berita pada surat kabar pagi yang aku baca sambil menikmati teh dan pisang goreng panas buatan Budhe Nia. Berita itu menarikku kembali ke masa 7 tahun lalu. Pada kejadian yang sama namun tempat yanag berbeda.

***

Duuuaarrr....
"Tong... tong... tong..."
"Gunung Merapi meletus"
"Wedus gembel"
"Ngungsi..ngungsi.."
"Huuuwwaaa... Ibu... Ibu..."
"Tong... tong... tong.."


Bunyi kentongan dipukul mengiringi teriakan warga lereng Gunung Merapi. Tangis anak kecil menambah gaduh suasa. Langit yang tadinya gelap gulita menjadi merah lembayung. Udara yang dingin menjadi sepanas api. Bumi bergoncang.

"Nduk...nduk.. bangun dulu," kata Ibu sambil menggoyangkan bahuku, "kita harus lari."

" Ehhh.. kenapa emangnya, Bu?" tanyaku sambil mengucek mataku.

"Gunung Merapi meletus, Nduk," kata Ibu, "ayo.. lari, Nduk."

Suasana luar rumah benar-benar kacau. Warga lari pontang-panting. Lupa dengan segalanya. Lupa anak, lupa istri, lupa ayah, lupa ibu, lupa akan harta dan ternak mereka. Asal mereka selamat. Begitu pun denganku tak jauh berbeda dengan mereka. Ikut berlari dengan bergandeng tangan dengan Ibu. Dibelakangku Ayahku berlari dengan menggandeng adikku yang masih berumur 7 tahun.

"Ibu.. kita mau kemana, Bu?" tanyaku diselala lariku.

"Kita mau mengungsi."

Duuuaaarrr.....

Ledakan keras tiba-tiba terdengar kembali. Awan merah bergerak cepat ke arah kaki gunung. Hujan pasir dan abu semakin tebal.
"Allahu akbar," teriak beberapa warga. Zikir terus terucap dari bibir mereka. Warga semakin panik. Lari pontang-pannting tanpa mempedulikan kanan kiri mereka. Orang-orang menerjang kearah kami.

"Ibu... Ibu...Ibu.." Tak kala tannganku terlapas dari genggaman tangan ibuku. Aku menoleh ke belakang untuk melihat Ibu. Namum, Ibuku sudah tidak ada di belakangku. Begitu pun dengan Ayah dan Adikku. Kepanikan melandaku.

"Ibu... Ayah.. Adik.." Dengan wajah panik dan cemas aku terus berteriak mencari keluargaku. Aku berusaha berlari melawan arus untuk mencari mereka.

Tapi... apalah daya tubuh mungil gadis 13 tahun sepertiku tentu tidak dapat menerobos arus orang yang berlarian. Yang ada aku terdorong-dorong dan terjatuh. Hingga gelap menyelubungiku karena sesak dengan banyaknya orang yang berlarian.

"Dek..dek..," panggil seseorang.

"Ehh.." Mataku berkedip-kedip.

Sekilas aku bingung kenapa aku berada di sebuah ruangan yang ricuh. Tetapi bayang saat aku berlari bersama keluarga berkelebat. Hingga aku teringat saat genggaman itu lepas. Sontak aku berteriak memanggil keluargaku.

"Ibu.. Ayah.." Aku terus berteriak dengan mata berkaca-kaca. Ketakutan semakin melandaku. Takut akan kehilangan keluaragaku. Air mataku pun tak lagi bisa aku bendung.

"Tenang dulu, Dek...," kata seseorang yang tadi menyadarkanku dari pingsan. Dia ternyata tim penyelamat dari PMI, Kak Nilam. "Kita cari sama-sama nanti, Dek. Adik harus tenang dulu ya!" pintanya.

"Ibu... Ayah..." Aku terus memanggil mereka.

Dan tangisku pun tak henti-henti. Kak Nilam yang tak tega memelukku dengan erat dan berusaha terus menenangkanku. Tangisku semakin tumpah tak kuasa menahan rasa sedih dan takutku.

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang