2.1

48 1 0
                                    

Nina benar-benar merasa lelah hari ini. Ia sudah berkutat dengan naskahnya sejak subuh yang akhirnya berhasil ia kirim ke Bu Alma, editornya via email tiga jam lalu. Matanya berkedut dan terasa panas, apalagi ia menyadari bahwa di hari sebelumnya ia mabuk berat dan itu sungguh berhasil menguras seluruh waktu dan tenaganya. 

Nina bangkit dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah terseok. Sekarang ia ingin cepat-cepat berendam air hangat dan me-rileks kan otot-otot nya yang tegang.

Nina bergerak membuka pintu kamar mandi sebelum dering telepon menghentikannya. Ia menghela napas lelah kemudian berbalik. Dahinya berkerut ketika melihat nama pemanggil di layar telepon. Dengan cepat, ia menggeser layar telepon dan berdeham sebelum menerima panggilan itu.

"Iya selamat siang, ada apa?... Ah, iya baik... iya, saya segera ke sana."

Nina menghembuskan napas panjang dengan berlebihan. Saat ini orang terakhir yang ia harapkan untuk berbicara adalah Bu Alma atau siapapun orang yang berkaitan dengan Ransmedia, namun wanita itu malah meneleponnya.

"Lama-lama aku bisa gila," gumamnya pada diri sendiri.

Nina memandang bangunan di depannya. Sekarang ia berdiri di depan pintu masuk utama gedung Ransmedia. Sekretaris editor menyuruhnya datang kemari karena lagi-lagi Bu Alma, editor naskahnya, ingin bertemu dengannya. Nina menghembuskan napas dengan keras, mencoba menghilangkan kesal di hatinya.

Sudahlah tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang ia segera menyelesaikan urusannya dengan Bu Alma. Setelah itu ia bisa pulang dan tidur nyenyak.

Hari masih siang, namun sudah hampir lima kali ia menguap dalam beberapa menit terakhir.

Nina mengambil napas panjang sebelum mengetuk pintu kayu di depannya. Ketika pintu terbuka, Nina mendongakkan kepala dan mengulas senyum sopan. Ia menegenali wajah pria berkacamata di depannya. Itu adalah Pak Aldo, sekretaris Bu Alma. Pria itu tersenyum kaku saat mempersilahkannya masuk.

Nina melangkah masuk dan membawa dirinya ke ruang duduk luas di ujung ruangan dekat dengan jendela. Di sofa panjang yang nampak mahal itu, duduk laki-laki ber-jas yang sedang menunduk membaca tumpukan kertas di hadapnnya. 

Wajahnya kaku tanpa senyuman, potongan rambutnya bagus dan rapi, garis wajah yang tegas, hidung mancung dan alis tebal, secara keseluruhan laki-laki itu tampan.

Kemudian Nina menggeser pandangannya dan melihat Bu Alma duduk di sudut terjauh sofa panjang itu. Wanita itu terlihat sedikit gugup. Terlihat dari matanya yang sesekali mencuri pandang ke arah lelaki tampan itu. Duduknya tegap dengan kedua tangan saling bertautan di atas paha.

Nina mengarahkan tatapannya kembali ke lelaki di samping Bu Alma untuk mengamatinya lebih lama. Ia merasa pernah melihat laki-laki itu. Tapi dimana?

"Silahkan duduk Nona."

Nina mengangguk patuh kemudian menaruh pantatnya di sofa yang berseberangan dengan Bu Alma.

"Sejauh ini cukup menarik. Saya harap anda lebih bisa mengkoordinir penulis agar tidak terjadi keterlambatan seperti ini lagi. Deadline sudah dekat dan saya tidak mau proyek ini gagal." Nina mendengar pria itu berbicara kepada Bu Alma. Raut wajahnya tetap tenang namun matanya menyorotkan ketegasan.

"Baik Pak. Emm sebenarnya--"

"Dan saya tidak menerima alasan apapun untuk itu. Anda pastikan penulis bekerja lebih profesional lagi. Saya tidak ingin masalah sekecil apapun menjadi hambatan untuk proyek ini." Laki-laki itu masih terus berbicara, tidak menyadari kedatangan Nina di tengah perbincangan mereka.

"Itu pak... Saya membawa penulisnya kemari." Bu Alma melirik sebentar ke arah Nina sebelum mengembalikan pandangan ke lelaki itu. "Ini...Nona Leonina Gladistya."

Laki-laki di sofa itu mengangkat satu alisnya, lalu berpaling ke arah Nina. Mata mereka bertemu dan Nina mendapati wajah lelaki itu sedikit terkejut melihatnya.

Nina tersenyum canggung mendapati kebisuan Reno. Matanya berkali-kali melirik ke arah Bu Alma untuk meminta penjelasan. Dirinya tiba-tiba saja merasa gugup dan takut. 

Entah karena aura dingin lelaki di depannya, yang jelas memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bu Alma, atau karena wajah tegang yang sejak tadi menghiasi wajah Bu Alma.

"Saya minta anda dapat bekerja dengan profesional. Saya mempercayai anda karena anda pilihan Bu Amanda. Jadi jangan kecewakan itu."

"Baik pak." Nina merutuk dirinya ketika suaranya terdengar serak. Ia mencoba tersenyum dan menatap lelaki di depannya. Ia sebenarnya masih penasaran sepenting apakah sosok lelaki di depannya ini. Karena berungkali ia mendapati wajah tegang Bu Alma ketika menatap lelaki itu.

Dering ponsel tiba-tiba berbunyi membuat Nina tersadar. Ia melihat lelaki di depannya mengeluarkan ponsel kemudian menggeser layar. "Halo?"

Entah pembicaraan apa yang sedang terjadi antara pria itu dengan si penelepon, intinya pria itu terlihat serius dan sesekali mengerutkan keningnya. Nina menatap pria di depannya dengan sedikit lama. 

Matanya menyipit ketika melihat warna bola mata lelaki itu. Awalnya ia berpikir jika mata lelaki itu berwarna hitam pekat, tetapi ketika dilihat lebih dalam lagi ternyata warnanya sedikit keabu-abuan, indah.

Nina tersentak ketika mendapati sepasang mata itu balik menatapnya tajam. Bibir pria itu masih terus bergerak menjawab si penelepon, namun tatapan matanya terfokus pada Nina.

Dengan cepat, Nina menundukkan kepala dan mengerjabkan matanya. Sial, dirinya tertangkap basah sedang memandangi pria itu, rutuk Nina.

Percakapan itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon, laki-laki itu bangkit dan menyalami Bu Alma. "Saya lihat lagi perkembangannya minggu depan."

"Baik Pak. Selamat siang."

Nina hanya menundukkan sedikit kepalanya dan bergeser ke samping, memberi ruang pria itu untuk keluar. Betapa terkejutnya Nina ketika tiba-tiba mendapati tangan lelaki itu telulur di depannya. 

Dengan ragu, Nina mengangkat tangan kanannya dan menggenggam balik tangan lelaki itu. Ia perlahan mengangkat kepala dan kembali menatap kedua bola mata indah itu.

Mereka terdiam saling menatap, sebelum pria itu menunduk mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan, "Saya harap anda segera menyelesaikan urusan dengan pria yang...ah, entah siapapun itu, kemudian fokus dengan kontrak ini. Jangan merugikan diri sendiri dan orang lain."

Lelaki itu kemudian kembali menegakkan badannya dan melepas jabatan tangan mereka.

Nina melihat lelaki itu menoleh ke arah Bu Alma dan mengangguk sopan kemudian melangkah pergi. Nina masih terdiam dengan wajah terkejut sebelum sebuah ingatan melintas di kepalanya ketika mata mereka bertemu, Nina baru sadar siapa laki-laki itu. 

Script of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang