2. Hasrat Terpendam Lama-lama Bisa Jadi Bisul yang Menyusahkan

8.6K 1.3K 47
                                    

Kembali ke Jakarta, berkutat lagi dengan rutinitas di lokasi syuting, ternyata Leta nggak berhasil meyakinkan Pak Rico. Produserku itu masih saja nggak percaya bahwa aku memang sudah benar-benar nggak ingin memperpanjang kontrak lagi. Rupanya itu cukup bikin dia gusar. Sejak Leta menyampaikan hal itu, dia nggak pernah absen menongkrongi lokasi.

Seperti siang ini. Saat kami break, dia memanggilku lagi untuk bicara. Bersama Mas Norman si sutradara.

"Pikirkan lagi, Jul. Apa tidak sayang kalau kamu mundur begitu saja?"

Kalimat pembuka dan rayuan yang sama. Aku tersenyum. Menggeleng. Lelaki agak tambun berkulit putih bersih itu mulai kelihatan jengkel. "Sebenarnya kenapa kamu tidak mau lagi memperpanjang kontrak? Penonton tentu kehilangan kalau tidak ada kamu lagi di sini."

Teringat kejadian di dekat rumah salah satu pegawai papanya Leta, aku jadi merasa jengkel lagi. Tapi aku kan masih harus bersikap sopan. "Saya sudah dua kali menandatangani kontrak, Pak."

"Satu kali perpanjangan lagi apa masalahnya?"

Masalahnya, jika aku setuju sign kontrak kali ini, aku yakin di belakang nanti bakalan ada perpanjangan keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Biasanya seperti itu.

"Kamu sudah menerima tawaran untuk main di sinetron lain?" kejarnya.

Aku segera teringat tawaran dari Arcade yang belum kuiyakan. Juga tawaran dari beberapa PH lain. Aku pun menggeleng. "Tawaran sih banyak, Pak. Tapi kayaknya saya mau break dulu. Dan kebetulan durasi kontrak saya di sini juga sudah hampir habis kan?"

"Kalau kamu mundur, mau jadi apa sinetron ini?" keluhnya.

"Ya tetap jadi Cita Cinta Farisa lah, Pak."

Pak Rico menggeleng. "Tidak. Karakter kamu penting sekali di sini."

"Iya, Jul. Apalah artinya drama semacam ini kalau nggak ada antagonisnya?" Mas Norman ikutan bicara.

"Yeee, kan mereka benci Mercy, Mas. Di mana-mana selalu dikata-katain yang jelek-jelek. Belum lagi disumpahi yang ngeri-ngeri."

"Tapi justru antagonislah sentral dari drama-drama semacam ini. Malah," Pak Rico menatapku serius. "Kamulah sebenarnya tokoh kunci paling penting di sini."

"Kalau peran saya memang sepenting itu, ya paling nggak seharusnya honor saya sama dengan Medina dong, Pak."

"Jadi itu masalahmu?" sambar Pak Rico cepat. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Itu kan bisa kita bicarakan. Kalau kamu mau bertahan, saya bisa usahakan supaya honor kamu naik."

Wuih, itu tawaran yang menggiurkan. Leta akan langsung menoyor-noyor kepalaku kalau dia tahu Pak Rico memberi penawaran semacam itu, dan aku nggak segera mengiyakan.

"Bagaimana?" tanya Pak Rico penuh harap.

"Terima sajalah, Jul," timpal Mas Norman. "Kapan lagi bos mau berbaik-baik begini sama kamu?"

Dia baik kan karena memang ada maunya.

Duh, bagaimana ini?

Kulirik Pak Rico yang masih diam menunggu reaksiku. Dan Mas Norman yang sesekali sibuk dengan ponselnya. Dan teringat lagi isi skenario yang sudah melenceng jauh dari apa yang kutandatangani di awal produksi sinetron ini.

Bukannya sok idealis ya, tapi repetisi adegan dan plot ceritanya mulai membuatku bosan. Enak sih, sebenarnya. Nggak usah bekerja terlalu keras lagi untuk menyelami adegan dan konflik baru. Tapi...

"Saya cukup sampai di sini saja, Pak Rico." Aku meringis ketika menjawab.

"Serius kamu? Saya benar-benar bersedia menaikkan honor kamu lho?"

The Worst JulietteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang