1. Untrue in Murakh

74 15 0
                                    

Untrue in Murakh
By : Gralpce

Aku baru saja pulang dari kebun apel milik pamanku, Lou, ketika kulihat kakek Zoe sedang membuat patung dari kayu pohon ek. Ya, dahan pohon itu patah akibat badai yang menerpa desa Murakh beberapa hari lalu dan kakek sangat senang mengingat kayu itu sangat mahal, sekitar 300 gok. Perlu satu tahun penuh untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.

Patung berbentuk rusa jantan itu sudah setengah jadi. Setiap incinya dibuat sangat rapi oleh kakek Zoe. Hanya bagian tubuh belakang yang masih dalam pahatan kasar. Dalam keadaan seperti ini kakek Zoe sangat tidak suka dirinya diganggu, jadi aku memutuskan untuk menungguinya sambil memakan apel yang kubawa.

"Beu, bisa bantu aku? Aku perlu seseorang untuk memegangi ini," kata kakek. Kupikir dia tidak menyadari kedatanganku. "Aku sudah hafal jadwal kedatanganmu. Kemarilah."

Aku menggigit habis potongan apel terakhirku sebelum menghampiri kakek Zoe. "Apa yang perlu kulakukan, Kek?" Tanyaku.

Kakek menghentikan kegiatannya lalu menatapku. Kacamata bulatnya merosot hingga ujung hidung bengkoknya. "Pegang ini sebentar," katanya. Kakek memberikan bagian kepala rusa untukku pegangi sementara ia memoles perut rusa itu.

Ada satu hal yang selalu kupertanyakan sampai pada saat ini. "Kek, apakah harus rusa jantan? Mengapa tidak rubah musim dingin? Bukankah itu hewan suci desa ini?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Tanpa disangka-sangka kakek Zoe bersedia menjawab pertanyaanku. "Ada hal yang harus kau ketahui, Beu. Meskipun rubah musim dingin adalah hewan suci bagi desa Murakh, ada hewan lain yang lebih suci."

Aku memiringkan kepalaku ke sisi kanan. Di kelas Pak Hoq tidak pernah ia mengatakan hal ini walaupun dia guru sejarah kami.

"Dahulu kala tempat ini dikuasai oleh Raja Sin. Ia memiliki dua hewan sebagai pengawalnya dan dua hewan itu adalah rubah dan rusa jantan. Keduanya menjalankan tugas dengan baik untuk melindungi Raja Sin. Sampai pada akhirnya dalam sebuah pemberontakan rubah itu mati. Yang harus disalahkan adalah sang rusa yang diyakini membunuh rubah tersebut. Mengapa? Karena pada saat itu demi melindungi sang rusa, rubah itu mengorbankan dirinya. Jadilah rubah sebagai hewan suci oleh raja Sin. Akan tetapi sang rusa dibuang dan diasingkan. Dalam sejarah, bukan hanya desa kita, tapi sejarah bagi bangsa kita hal itu telah dihapuskan. Itulah sebabnya kau bertanya-tanya mengapa Hoq tidak mengajari kalian soal itu, bukan? Semua yang terlihat belum tentu sepenuhnya benar. Semua yang kau dengar belum tentu benar."

Ini kali pertama kakek berbicara sepanjang itu padaku. Selesai bercerita kakek melanjutkan kegiatannya.

"Dari mana kakek mengetahui hal itu?" Tanyaku lagi.

"Aku hidup lebih lama dari yang kau kira dan sebaiknya kau tidak menanyainya."

Aku berhenti bertanya karena kulihat ekspresi kakek Zoe tidak seperti biasanya. Untuk mengalihkan segala macam pertanyaan dalam pikiranku aku memutuskan untuk diam dan memperhatikan tangan kakek yang bergerak perlahan.

Beberapa kali aku menguap sambil memegangi patung. Mataku pun mulai terasa berat. Beberapa kali kakek menangkap basah saat aku menguap, membuka lebar-lebar mulutku.

"Kau mengantuk? Masuk dan tidurlah," kata kakek Zoe. Tanpa basa-basi aku segera melengos masuk ke dalam rumah dan berbaring di atas dipan. Aku mulai tertidur lalu benar-benar jatuh ke alam mimpi seutuhnya.

Suara berisik mengganggu tidurku. Aku tidak yakin dengan apa yang kudengar. Suara benda jatuh, mungkin dibanting atau semacamnya. Aku membuka mata dengan sangat terpaksa.

"Berikan batu itu, Zoe!"

"Tidak akan kubiarkan batu itu digunakan untuk kejahatan."

"Kalau begitu aku akan membunuhmu!"

"Tidak!!" Aku membanting pintu dengan keras. Hal itu sukses membuat kakek dan orang yang tidak kukenal ini itu berhenti, menatapku dengan ekspresi tidak percaya. "Siapa kau?!"

"Ah, Putra Rei! Akhirnya kita bertemu. Aku sudah menantikan ini sangat lama."

"Pergilah, Beu!"

"Tapi, Kek ... "

"Cepat pergi!"

Dengan berat hati aku segera berlari menjauh dari tempat itu, bisa kudengar seruan kakek Zoe yang tetap tidak ingin memberikan batu. Memangnya batu apa yang mereka perebutkan? Sepertinya itu bukan batu biasa. Sialnya lagi aku tersandung dan jatuh, mengakibatkan lututku berdarah. Tali sendal yang terbuat dari pilinan jerami di kakiku putus. Aku berlari terseok-seok sambil menahan perih di lututku. Sesekali menengok ke belakang kalau-kalau dia mengejarku.

Brukkk!

Tiba-tiba tubuhku tidak bisa bergerak. Ini sihir pengikat tubuh. Aku sangat mengenali sihir ini. Siapa orang yang berbuat seperti ini padaku? Sungguh Tuhan tidak adil, dengan aku yang terkena sihir dan berada jauh dari desa membuatku benar-benar ingin melemparkan sumpah serapahku.

"Siapa kau?!" Teriakku.

"Hai, Nak. Kita bertemu lagi."

Ternyata dia. Apa dia? Jika orang itu ada di sini bagaimana keadaan kakek? "Apa yang kau lakukan pada Kakek Zoe?"

Dia berjalan ke arahku lalu sedikit membungkuk memperhatikan wajahku yang kotor oleh tanah. "Kau persis seperti ayahmu," katanya.

"Kau mengenal ayahku? Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa menyerang kakek?"

"Kau tidak mengenaliku?"

Aku menggeleng kecil. Tubuhku sekarang sudah mulai mati rasa. Dia tidak hanya menggunakan sihir pengikat tubuh, tapi sihir lain yang belum kuketahui.

"Ayahmu ... "

"Jangan sebut namanya! Aku tidak ingin mendengar dan tidak ingin tahu tentang pria itu!" Napasku memburu. Aku menggunakan tenagaku hanya untuk meluapkan amarahku dengan perkataan.

"Kau membencinya? Mengapa?"

Jelas orang ini ingin berusaha menggali sesuatu dariku. Dia hanya orang asing, tapi suaranya terdengar sangat familiar. "Apa pedulinya kau?! Lepaskan aku!"

"Kenapa kau membencinya?" Dia bertanya tanpa ada nada paksaan.

"Jika kau benar-benar ingin tahu. Dia menghancurkan hidup ibuku hingga ibuku meregang nyawanya sendiri. Dia monster! Dia menelantarkanku dan ibuku! Dan dia pergi dengan wanita lain!" Air mataku tak kuasa kutahan. Sampai pada akhirnya aku menangis. Sudah lama aku tidak berbicara seperti itu. Akhirnya aku bisa melepaskan kemarahanku

"Kau percaya? Dari mana kau mengetahui hal itu?" Dia kembali bertanya.

"Semua orang mengatakan hal yang sama." Aku tidak berbohong. Semua orang di desa tahu akan hal tersebut. "Dia ayah yang jahat."

"Aku memang jahat, Nak."

Aku terdiam.

"Aku pergi untuk membalaskan dendam desa ini. Tapi ternyata mereka berbohong tentang diriku. Dan putraku sendiri telah membenciku."

Ada nada kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Benarkah dia ayahku?

"Ayah?" Lirihku. Dia bangkit berdiri. Lalu menjauh dariku. Kulihat bahunya bergetar. Apakah dia menangis? Apa perkataanku telah menyakitinya? Apakah dia benar-benar ayahku?

Semua yang terlihat belum tentu sepenuhnya benar. Semua yang kau dengar belum tentu benar. Perkataan kakek Zoe terngiang dalam pikiranku

"Curcios Devada!"

Bumm!

----

Untuk membaca kelanjutan cerita ataupun ingin berbincang-bincang silahkan ke lapak authornya :)

Gemintang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang