World of Minia: The Witch's FamiliarBy : agungsiafund
***
Aku tak mengerti, kenapa? Kenapa harus seperti ini?
Aku tak tahu? Apa? Apa yang tidak kuketahui?
Aku ... sebenarnya aku ini apa?
Satu ... dua ... sudah hampir setengah bulan aku berada di dunia aneh ini. Mereka mengatakan:
"Monster!"
Lalu dengan senyum gila mereka, aku ditangkap, dipukuli. Bahkan sampai pada waktu ketika aku hampir mati karena digantung para mahluk yang menggunakan dua kaki untuk memegang sesuatu, sedang sisanya untuk berjalan.
Sesak, entah dari mana mereka mendapat sulur setebal dan sekuat ini. Untung mereka lengah dan aku masih sempat mengepakkan sayap yang hampir patah. Menyentakkan ikatan pada leherku lalu kabur dari tempat penuh dosa itu. Bukan lepas dari jeratan sulur di leher, melainkan kayu yang mencancang diriku tadi juga ikut terbawa ke angkasa.
Aku selamat, meski kedua sayap mengenaskan yang benar-benar sudah robek di sana-sini. Meski darah masih keluar dari lebam di sekujur tubuh. Meski gigiku sudah tidak utuh dan pasti akan diejek kawanku jika aku kembali nanti. Misal saja: haha si singa ompong. Atau sesuatu seperti itu.
"Ugh, sial," gumamku.
Aku berkaca pada permukaan danau. Rebah dengan manis di atas keempat kakiku, mendengar percikan lembut air terjun di ujung sana. Angin sepoi-sepoi mengusik surai tebalku, membuatnya berkibar manja di sekitar kepala. Sedang darah masih saja menetes dari taring kebesaran ini. Tidak, bisa dikatakan taring atas---sebelah kiri---milikku sudah tiada. Salah satu mahluk biadap tadi sudah mencongkel dan menjadikannya perhiasan di leher. Apa karena dikira akan berguna bagi mereka? Atau karena taringku terlalu cantik? Mana aku tahu.
Ya ... mungkin aku akan mati kehabisan darah. Mungkin aku akan mati mengenaskan di dunia yang tidak kukenal.
Tapi danau ini, kupu-kupu yang beterbangan gembira di antara bunga yang bermekaran, ikan-ikan yang berkejaran di air jernih itu, atau tebing dengan lumut hijau yang menyegarkan, juga pohon besar tempatku berlindung dari sinar matahari. Sungguh tempat yang indah untuk meninggalkan jasadku, mungin memang meregang ajal di sini tidak buruk juga.
Mataku mulai terpejam, aku pasrah akan hidup. Siapapun pencabut nyawaku nanti, dialah dewa yang akan paling kusegani di surga nanti. Atau ... karena aku bukanlah mahluk yang baik lagi bijak, mungkin neraka akan lebih cocok.
~$~
Kubuka mata ini. Cahaya mulai terlihat menyilaukan. Aku ... ya, aku berada di tempat yang berbeda. Sulur di leher sudah tidak terasa lagi, juga kayu yang terikat padanya sudah menyingkir dari pandangan. Apa aku hanya bermimpi? Jika iya, beruntung sekali hidupku.
"Kamu sudah bangun?" Suara lembut, entah milik siapa. Tapi ini sungguh menenangkan, suara yang seumur hidup belum pernah kudengar.
"Ah, ya."
Sosok itu berdiri tegap dengan dua kaki. Memegang tongkat panjang dengan dua kaki lainnya. Tunggu. Jangan bilang dia juga mahluk yang sama dengan mereka.
Tanpa kusadari, aku langsung loncat sedikit ke belakang. Apapun itu, aku tak boleh terlena pada suara merdu miliknya. Namun, belum ada sebarang dua tiga detik, punggungku ngilu. Sesaat, sungguh hebat rasa sakitnya. Akankah sayapku dipotong?
Sedetik kemudian, rasa itu hilang.
"Jangan banyak bergerak, nanti lukamu terbuka lagi. Sudah, duduk manis saja!" perintahnya.
Sungguh aneh. Karena itu aku bertanya dengan suara berat, serak, lagi gagah seperti biasa:
"Ka-kau tak takut padaku?"
"Untuk apa?"
Sungguh, dia ini mahluk macam apa? Kukira spesies mereka sangat takut padaku. Itu terbukti, karena sampai ada juga yang mencoba membunuhku. Tapi dia ....
"Perbannya akan hancur kalau kamu terus seperti itu. Sudahlah, kamu harus nurut kalau tidak mau mati. Kubilang kan duduk manis saja."
Aku menurut, meski rasanya aku masih was-was akan benda yang ia mainkan itu. Tongkat panjang, sesuatu seperti akar melilit di tubuh tongkat, dengan ujung seperti beberapa sulur kuat yang melengkung jadi satu membentuk kerucut. Tentu lancip. Jika saja dia berniat jahat dan menusukku dengan ujung tongkat itu, selesai sudah. Tapi ... toh bukannya aku memang seharusnya sudah mati?
Tunggu, apa benda putih yang melilit sekujur tubuhku ini? Apa ini alat lain untuk menyiksa?
Lalu aku bertanya lagi, namun sedikit membentak. "Ka-kau sebenarnya mau apa!"
"Menyembuhkanmu, apa lagi?"
"Bohong! Apa ini?! Ini pasti alatmu, kan? Untuk menyiksaku?"
Dia menyeringai. Entahlah, terlihat begitu indah seringai itu. Bahkan belum pernah kutemui di antara bangsaku. Sekalipun gadis tercantik di Negeri Ratherkilla. Tapi seindah apapun itu, tetap saja terlihat menakutkan jika itu spesiesnya.
"Hihi, aku kan sudah bilang. Itu perban. Jangan banyak bergerak, nanti dia rusak. Rasa sakit dari lukamu harusnya sedikit teredam oleh benda itu."
Ah, benar ... rasa sakit tadi sudah mereda. Bisa dikatakan keadaanku lebih baik dari sebelumnya. Bahkan tadi aku sampai bisa meloncat juga.
"Jadi ... apa kau penyihir atau semacamnya?"
Tentu saja aku malu karena mengira dia sama dengan mahluk-mahluk sebelumnya. Ternyata dia memang berniat menyembuhkan lukaku. Tapi aku benar-benar tak mengerti cara kerja benda ini. Sungguh pasti akan sangat berguna ketika di medan perang. Cukup membalut diri dengan ini, dan lukamu akan membaik. Benar-benar praktis.
"Mungkin," jawabnya setelah jeda cukup lama.
"Mungkin?"
"Dari mana asalmu? Aku belum pernah melihat hewan yang berbicara sepertimu."
"Cih, apa kau menganggapku sebagai hewan? Dasar."
"Aku hanya ingin tahu, apa salahnya? Lagi pula, jika kamu itu familiar milik salah satu penyihir ... kenapa kamu tidak menghilang dengan luka parah seperti itu? Jadi aku kira kamu bukan mahluk panggilan, dan karena itu aku lebih suka menganggapmu sebagai hewan.
"Tapi aku tak mengerti kenapa hewan bisa bicara. Juga sama halnya tidak mengerti kenapa singa bisa punya sayap. Jadi—"
"Bodoh! Aku bukan hewan!"
Ya, kira-kira seperti itulah awal aku bertemu dengan Alys. Seorang gadis dari ras manusia. Berbeda dengan yang lain, dia cukup baik hati, perhatian, dan selalu ceria. Dari ceritanya, dia adalah seorang penyihir jenius dari Heartglow Academy. Penyihir yang menjanjikan tiket untuk kembali ke duniaku. Karena pada kenyataannya, ini dunia Alys. Bukan milikku, bukan tempat aku dilahirkan, bukan tempatku sebagai pasukan pertahanan di Ratherkillia. Bukan tempatku, bukan.
Di sini, aku akan dikenal sebagai familiar milik penyihir tersohor, Alys. Sebagai satu-satunya familiar yang sekaligus penjaga, tanpa harus ada mantra pemanggilan, tanpa harus ada ritual. Kami berjanji.
Seorang penyihir cilik, Alys. Berjanji akan mengembalikan singa bersayap ke dunianya. Juga si singa bersayap—aku—yang berjanji akan melindunginya sampai dia menemukan kembali kitab mantra yang dicuri.
Perjalanan kami, akan segera dimulai.
~$~
"Heavens never fallen, but siners must be unseen. Then we are same as wind as asheses. We are same as one as classes. We are birth in different time different place. But come join us as the adventurer from Minia. You are confusing, than wake up to take some fresh air in our universes." - Alys
-----
Untuk membaca kelanjutan cerita ataupun ingin berbincang-bincang silahkan ke lapak authornya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gemintang
Short StoryHorn of Night 1st antologi. Dari bintang mereka datang hanya untukmu, menuturkan berbagai cerita hingga kamu terbawa ke dunia fantasi mereka.