Let's write our story
And let's sing our song
Let's hang our pictures on the wall
All these precious moments
That we carved in stone
Are only memories after allShawn Mendes - Memories
.
.
Jogjakarta, 2012.
"Maksud kamu apa, Nad?" Suara Gino meninggi. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan nanar. Pandangannya beralih pada penampilan gadis itu yang tidak memakai seragam.
"Aku tahu kamu pasti marah." Nadine mengerucutkan bibirnya.
"Kamu mau pergi tiba-tiba gini? Nggak pamit dulu sama aku, sama Mami. Aku nggak nyangka," kata Gino ketus.
Pagi itu, Nadine datang ke rumah Gino untuk memberitahukan kepindahannya ke Jepang bersama keluarganya. Gadis itu akan berangkat pukul sebelas pagi pada hari yang sama. Nadine sebenarnya tidak ingin memberi kabar mendadak pada Gino, tapi ia sendiri baru dapat kabar tersebut dua hari yang lalu dari ibunya.
"Aku minta maaf, Gino." Nadine menundukkan kepalanya. "Aku mau kasih tahu kamu lebih awal, tapi buat apa? Jaraknya cuma dua hari aja. Itu juga nggak bikin aku bisa nolak permintaan mama sama papa."
"Seenggaknya aku bisa kasih kamu hadiah! Atau kita bisa pergi ke mana gitu sebelum kamu ke Jepang!" Rahang Gino mengeras, urat di lehernya terlihat menonjol.
Gadis itu meraih tangan Gino dan menggenggamnya. "Aku tahu kamu marah. Nggak apa, karena aku juga marah sama keadaan. Sama mama papa. Juga sama kamu." Ia menatap Nadine heran. "Karena rasa sayang kamu ke aku, nggak akan bisa bebasin aku dari orangtua aku."
Gino langsung merengkuh tubuh Nadine dan memeluknya erat. Padahal lelaki itu sudah berusaha semampu yang ia bisa untuk melindungi Nadine. Akan tetapi, ternyata itu tidak pernah cukup. Nyatanya ia belum mampu melindungi gadis itu dari orangtuanya sendiri. "Maafin aku Nad, maafin aku." Gino mengusap rambut Nadine lembut.
"Aku nggak marah sama kamu Gino, karena aku juga sayang sama kamu," kata Nadine pelan, tapi tetap dapat didengar Gino.
Oh ya, lelaki itu tidak buta akan perasaannya pada gadis itu ataupun sebaliknya. Namun, bagi Gino, jalinan persahabatan lebih nyaman. Ia juga tidak ingin hubungannya dengan Nadine berubah jika memberanikan diri untuk mengubah status mereka. Karena lelaki itu percaya, jika Nadine memang takdirnya, Tuhan akan menyatukan mereka.
***
Setelah enam tahun tak berjumpa, tidak ada perubahan berarti yang Gino temukan pada gadis yang duduk di depannya. Nadine terlihat cantik dengan penampilan modis. Rambutnya yang bergelombang sebahu, dengan cat ombre pirang dan ungu memberikan kesan fresh pada gadis itu.
"Nggak usah bayar. Itung-itung aku lagi sedekah sama gelandangan," kata Gino setengah menyindir, saat melihat Nadine hampir mengeluarkan uang dari dompet.
Nadine mendengkus. "Makasih, kamu emang pengertian banget, ya .... "
"Udah kenyang?" Nadine mengangguk. "Sekarang, ceritain dari awal kenapa kamu nggak pernah ngontak aku pas sampai di Jepang."
"Nomor kamu nggak aktif, e-mail aku nggak pernah kamu bales. Media sosial kamu nggak aktif," jawab Nadine santai.
"Hape aku ilang. Aku lupa semua password media sosial aku."
Nadine membulatkan matanya. "Aku kira kamu marah sama aku dan nggak mau berhubungan lagi sama aku. Ya udah. Terus, kamu juga nggak cari kontak aku, kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not So Husbandable [REPOST]
Художественная проза[KAMPUS SERIES | 1] Bagaimana jika dua orang yang tidak saling kenal harus menikah? Bukan karena perjodohan apalagi tragedi hamil duluan. Ada suatu kejadian menarik, yang membuat mereka 'terpaksa' menikah. Bingung, canggung, jengkel, pokoknya nano-n...