Prolog
Langit TanpamuSayang,
kau sedang apa?
Kupikir...
Bali akan mengubah suasana hatiku,
setelah kau pergi.
Tapi Bali tanpamu, sama seperti langit tanpa senja.
So plain, so ordinary.
Sayang, bukannya aku tak rela melepasmu.
Aku mungkin hanya rindu.
Apakah di sana kau juga rindu padaku? Pada Athalia?
Sayang, apa kau ingin dipeluk?
Sudah lama aku tak memelukmu...Ponsel yang terletak di samping tempat tidur terus menerus bergetar dan menjerit. Lelaki muda berambut hitam itu masih berbaring telungkup di tempat tidurnya. Sayup-sayup dia memang mendengar jeritan ponselnya, tapi dia baru saja bisa tidur kembali setelah malam super panjang yang dilaluinya semalam. Malam 5 Februari, tahun keempat sejak kepergian Gracie-nya.
Dia, lelaki muda itu, bernama Adam. Sebetulnya separuh nyawanya sudah terjaga begitu ponselnya bergetar. Tapi dia masih menolak untuk membuka matanya, yang dengan paksa dipejamkannya erat-erat hingga terlihat berkerut. Dia masih ingin berlindung dalam gelap yang tercipta dari mata yang tertutup.
Dalam gelap dia tidak perlu melihat benda-benda lain kecuali benda yang memang ingin dibayangkannya untuk dilihat.
Dalam gelap dia tak perlu memikirkan perasaan dan pendapat orang lain.
Dalam gelap dia masih bisa menyentuh belahan jiwanya.
Tidak, dia belum ingin bangun dari mimpinya. Dia masih ingin membayangkan Gracie-nya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai hingga ke pinggangnya yang kecil. Tubuh Gracie yang kurus dan mungil begitu mudah diangkat. Ah! Adam bisa membayangkan gelak tawanya, saat dia melingkarkan lengan kurusnya ke lehernya lalu bersama-sama mereka berjalan-Gracie dalam gendongannya-menuju ke laut lepas.
Matahari terasa membakar kulitnya, pasir pun terasa hangat di telapak kakinya. Tapi tak ada yang bisa menghentikan derap langkahnya menuju laut, bersama Gracie dalam pelukannya, langsung berjalan ke tengah hingga air laut menutupi dadanya. Air laut yang hangat, sehangat tubuh Gracie dalam pelukannya. Sehangat pelukan lengan kecil di lehernya, sehangat hatinya. Lalu tiba-tiba saja dia tersedu.
"Gracie!"
Bisiknya masih dengan mata yang dipaksakan terpejam. Dia membalik tubuhnya hingga telentang lalu mengulurkan tangannya.
"Gracie!"
Bisiknya lagi, lalu dia terduduk di atas tempat tidurnya yang kosong dengan mata basah. Ponselnya sudah berhenti menjerit dan bergetar.
Dia mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangannya lalu membanting tubuhnya ke atas kasur. Matanya yang hitam dan besar memandangi langit-langit kamar hotelnya dengan pandangan kosong.
Rasanya baru kemarin dia menginap di sini. Pulau yang sama, hotel yang sama, kamar dengan ornamen yang sama yang pernah mereka tiduri dulu.
Kamar yang indah dengan ranjang raksasa yang empuk dan nyaman, heavenly bed, judul promosi katalognya. Karena bulu angsa yang melapisi bantal, alas kasur dan selimutnya yang lembut.
Menurut Gracie, mereka harus menginap di situ dan merasakan seperti apa itu heavenly bed. Dia ingat tertawa setengah mengejek.
"Itu kan cuma promosi pihak hotelnya aja, Gracie!"
Ujarnya sambil menariki rambut panjang Gracie yang harum. Gracie menggeser duduknya lebih dekat lagi dan memeluknya.
"Tapi kita harus coba, Kak. Siapa tahu nanti kakak berminat buka resort atau hotel baru dengan konsep yang sama. Heavenly bed. Tempat tidur senyaman di surga."
Adam terkekeh mendengarnya. "Kau sudah merasakan surga?"
Tapi Gracie-nya tidak tersinggung mendengar nada mengejek dari suara Adam. Dia malah menciumi leher Adam sambil bergumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah Terbit
RomanceHalo, sudah siap dengan kisah baru? Ini gak sepenuhnya baru sih, melainkan lanjutan tak sengaja dari kisah 'Tentang Dia' merupakan lanjutan dari pertanyaan apakah anak yang di abuse semasa kecil akan membuat jiwanya berubah? Temanya masih tentang Ch...